Monday, June 18, 2007

DI SANA ADA BINTANG

Mencari desa yang tepat untuk proram Desa Kita bukan pekerjaan mudah. Dari 3 wilayah yang diusulkan salah satu di antaranya adalah sebuah desa di Pulau Bintan, Kepulauan Riau yang memiliki keunggulan budi daya Ikan Kerapu. Dari hasil penjajagan awal yang bermuara pada informasi sekunder, diperoleh masukan bahwa desa tersebut memang layak untuk dijadikan Desa Kita.
Perjalanan awal menghadirkan tim penjelajah Desa Kita di Batam. Pemahaman dan sense of ownership dari kantor cabang menjadi target awal dari sosialisasi. Pada akhirnya Kantor Cabang yang akan melakukan operasionalisasi harian dari implementasi Desa Kita. Target berikutnya adalah melakukan base line survey ke lokasi. Jadi perjalanan diarahkan ke lokasi pada keesokan harinya.
Dari kota Batam, ditempuh perjalanan 1 jam menuju ke pelabuhan, melalui jembatan Jembatan Tengku Fisabilillah yang arsitekturnya mengadopsi konsep Golden Bridge di San Fransisco, Amerika. Nama populer dari jembatan ini adalah Barelang (Batam, Rempang dan Galang) yang membentang sepanjang 642, menghubungkan pulau Batam dan pulau Tonton.
Hari masih pagi ketika tim tiba di sarana transportasi antar pulau. Perjalanan laut membutuhkan waktu tempuh selama 40 menit. Untungnya, udara cukup baik, sehingga kekhawatiran hujan yang akan menimbulkan ombak menjadi tidak valid. Dari perjalanan pergi dan kembali tertangkap gambaran pegawai yang commuting. Transportasi laut adalah sarana utama, sehingga bisa saja terbersit untuk menerapkan konsep bus way untuk sarana transportasi laut (hehehe...permasalahan di kota dibagi ke laut).
Setibanya di pulau Bintan yang ibukotanya Tanjung Pinang, perjalanan direncanakan untuk terus berlanjut ke tempat tujuan. Perjalanan ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan menggunakan mobil pribadi. Dalam perjalanan tertangkap kisah penjualan pasir ke Singapura yang menyisakan kubangan-kubangan besar dan dalam menyerupai danau. Penjualan tersebut konon kabarnya terjadi dalam skala yang cukup besar. Bahkan pulau Nipah sudah hampir tenggelam. Singapura menggunakan pasir tersebut untuk program reklamasi pantai yang sudah dicanangkan semenjak tahun 1976. Luas wilayah daratan negara kecil Singapura itu semakin bertambah. Semula hanya sekitar 581 km2, pada tahun 1991 telah berubah menjadi sekitar 646 km2. Sejumlah pihak malah mendata bahwa luas daratan Singapura pada 2001 sudah membengkak sekitar 760 km2. Sedangkan batas wilayah Indonesia dengan Singapura belum tuntas hingga detik ini.
Dalam perjalanan Pulau Bintan terkesan kering dan gersang. Ada sejumlah tanah yang cukup luas dan subur yang digunakan untuk pertanian. Hasilnya berupa sayur- sayuran di ekspor ke Singapura. Namun sangat disayangkan potensi tersebut tidak memiliki kepastian karena status tanah dimiliki oleh orang kaya yang tinggal di Jakarta. Di pulau Bintan ini terdapat Bintan Resort yang sayangnya dalam kesempatan ini tidak menjadi tujuan dari kunjungan tim. Di kalangan pejabat beredar pembicaraan kalau belum pernah main golf di pulau Bintan maka belum lengkap untuk menyandang predikat golfer.
Mendekati target tujuan, tim dibingungkan dengan transportasi menuju pulau. Sarana transportasi yang ada hanyalah kapal tongkang dan perjalanan membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Di daerah penyeberangan, hanya ada 1 restoran dan 1 rumah penduduk. Rumah penduduk berikutnya berjarak beberapa kilometer dari tempat ini, dan jumlahnya pun tidak banyak. Sulit membayangkan pengembangan Desa Kita di wilayah ini. Entah bagaimana cara transportasi sarana fisik yang dibutuhkan dan juga cara pemantauan program Desa Kita. Terlebih lagi, sangat sedikit penduduk yang bermukim di pulau tujuan tersebut. Biaya tampaknya akan tinggi dan nilai manfaatnya akan sangat kecil.
Dari restoran yang ada diperoleh informasi bahwa pengunjung restoran hanya ada pada akhir pekan. Jumlahnya tidak banyak. Namun karena restoran di kelola oleh keluarga dan menu yang ditawarkan berasal dari laut, maka keberlangsungan restoran tersebut tetap terjaga. Dari penduduk diperoleh informasi bahwa ikan sudah mendekati kepunahan karena pencemaran yang ditimbulkan oleh penggalian bauksit. Penggalian yang dilakukan tanpa adanya tindak restorasi lingkungan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan sekitarnya. Bila hujan tiba, erosi tanah bersama sisa-sisa bauksit terbawa ke laut. Demikian pula ketika bauksit di transportasikan dengan menggunakan kapal, serpihan yang jatuh mencemari laut dan meracuni mahluk laut. Kebetulan pada sore hari akan ada penjadwalan dari Pemda untuk memonitor keluhan penduduk. Sayangnya kita tidak bisa menunggu sampai sore hari.
Perjalanan hari itu menghadirkan beberapa kesimpulan yang membuat usulan implementasi Desa Kita di daerah tersebut menjadi tidak mungkin alias gagal untuk dilaksanakan. Beberapa alasan utama adalah kompetensi inti yaitu hasil budi daya laut yang terancam bahaya pencemaran. Peluang untuk mengalihkan ke pertanian terhambat karena alasan kepemilikan tanah walaupun di lain sisi potensi ekspor ke Singapura menunjukkan hasil positif. Faktor penghambat lainnya adalah transportasi, pembangunan fisik dan pemantauan program akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Suasana malam di Tanjung Pinang masih tersisa dari jendela kamar di hotel. Langit yang cerah bertaburan bintang mengintip di balik tirai. Ada banyak harapan yang menggelantung disana. Harapan yang tidak dapat dijawab dengan program Desa Kita.

Labels: , , , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home