tag:blogger.com,1999:blog-306676472024-03-13T19:31:24.274+11:00"DESA KITA"Catatan Proses Implementasi Program Pengembangan Desa PengetahuanIbuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.comBlogger25125tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-47383226225074301732007-12-04T20:29:00.000+11:002007-12-04T20:54:34.149+11:00KAMPUNG KITA KOYA KOSOKurang lebih 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor lembaga setempat. Melewati lembah dan menyusuri tepi gunung merupakan pemandangan yang menjadi khas bagi mereka yang melintasi trans Papua. Belum lagi bentangan laut yang terhampar luas sejauh mata memandang. Tempratur hari itu cukup adem, dari biasanya.<br /><br />Akhirnya, rombongan kami tiba di lokasi disambut oleh tarian khas adat setempat yakni Tari Sanggal. Sambutan susulan dilanjutkan ketika rombongan memasuki area peresmian, oleh baliho 10x5meter dengan tulisan “Peletakan Batu Pertama Kegiatan Social Responsibility” Sayang.....pesan yang tertulis dengan warna merah dilengkapi dengan blueprint bangunan fisik yang memenuhi baliho itu sepertinya mengecilkan arti tanggungjawab sosial lembaga. Tidak dipungkiri, pembangunan fisik adalah bukti nyata komitmen lembaga akan keseriusannya pada masyarakat. Namum perlu diingat, niat tulus lembaga adalah untuk membangun masyarakat yang bukan saja dilengkapi dengan fasilitas fisik namun sangat perlu dibekali oleh kemampuan psikis. Kemampuan untuk lebih berpengetahuan, lebih bersikap dan lebih berperilaku.<br /><br />Memasuki ruang pertemuan, pejabat lembaga dan pemda setempat disematkan kalung dan mahkota adat oleh kepala suku, ini juga sebagai simbolis penerimaan dan kepercayaan masyarakat akan lembaga dan instansi yang masuk dalam budaya mereka. Pace, mace juga anak-anak seakan tidak peduli berdiri diluar tenda dan menerima sinaran matahari yang mulai menyengat untuk mengikuti acara. Doa pembukaan, sambutan dari kedua pejabat, penandatanganan MoU, peletakkan batu pertama, penyerahan hadiah untuk pemenang lomba dalam perayaan HUT Hari Pahlawan dan Doa penutup adalah rangkaian acara siang itu. Dalam sambutan, pejabat pemda mengingatkan agar warga bersyukur kepada yang Maha Kuasa atas terpilihnya kampung mereka sebagai desa binaan lembaga, yang pada akhirnya harus dilanjutkan dengan partisipasi masyarakat secara penuh.<br /><br />Hari itu Jumat 23 November 2007, di kampung Koya Koso, distrik Abepura Kota Jayapura sebuah komitmen telah diambil. Layaknya tarian Yosim Pancar yang ditampilkan oleh anak-anak pemenang lomba pada akhir acara, yang memadukan gerak tubuh yang gemulai, kekompakkan dalam irama tempo musik, dan kerjasama individu per individu demikian juga keseriusan Pemda dalam mengawasi, lembaga dalam memfasilitasi dan masyarakat dalam berpartispasi penuh serta kemitraan diantara ketiganya akan terlihat di akhir program. Kami berharap!Anohttp://www.blogger.com/profile/12505626276308194621noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-46960870420200066962007-10-09T12:54:00.000+11:002007-10-09T12:55:18.781+11:00It’s a miracle!!!24 Agustus, Ibu-ibu Desa Mekarjaya membentuk kelembagaan usaha kue kering. Keberadaan usaha kue kering ini sangat diharapkan dan dinanti-nantikan oleh ibu-ibu di tengah ketidakpastian dan kekurangan dalam hal pendapatan rumah tangga untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Maklum, para ibu harus berjuang sendiri menafkahi keseharian rumah tangga mereka karena para suami harus pergi merantau ke kota besar untuk mencari nafkah karena tidak adanya peluang di desa, namun uang yang kembali ke desa hanya sedikit, tidak cukup, bahkan tidak pasti. <br /><br />Usaha kue Ibu-ibu berdiri, namun harus mulai dari nol. Ibu-ibu tidak punya pengalaman usaha, hanya berbekal sedikit kemampuan membuat kue kering yang didapat dari kursus kue yang pernah diadakan yang difasilitasi oleh Ibu Fatmah Bahalwan yang merupakan moderator millist para pembuat kue terbesar di Indonesia, Naturan Cooking Club, pada dua minggu sebelumnya (lihat: Another Trip to Mekarjaya). namun setidaknya ibu-ibu sudah punya dasar, bekal karena yang diajarkan oleh Bu Fatmah adalah standar dalam membuat kue yang baik, standar kue yang berbeda dengan kue pada umumnya di desa. Ada peningkatan standar produk kue yang dihasilkan.<br /><br />Sehari sebelum usaha kue ibu-ibu dibentuk, ibu-ibu mengikuti lomba usaha kue kering untuk mengasah kemampuan membuat kue yang telah didapat dari workshop dua hari, sekaligus bersimulasi melakukan usaha kue. Ibu-ibu tidak hanya membuat kue, tapi juga mengelola uang modal, memilih dan membeli bahan, menentukan jenis kue yang dibuat (ibu-ibu tidak mentah-mentah menjiplak kue yang diajarkan pada workshop, tapi juga banyak melakukan kreasi), mengorganisasikan pembagian tugas antar anggota tim, sampai dengan menciptakan nilai tambah produk dan mempromosikannya.<br /><br />Lembaga usaha kue ibu-ibu Mekarjaya sudah terbentuk. Uang-uang sisa lomba dikumpulkan untuk modal, tapi masih terlalu sedikit untuk menjadi modal. Ibu-ibu pun mengeluarkan uang dari kantong pribadinya untuk dikumpulkan menjadi modal. Tindakan ini patut diacungi jempol, karena ibu-ibu sudah sadar bahwa tidak akan ada hasil tanpa ada pengorbanan. Di tengah kekurangan dan harapan yang belum pasti saat itu, ibu-ibu berani mengambil keputusan dan risiko untuk mengeluarkan modal. Sungguh merupakan sikap wirausahawan yang didasari niat atau kemauan untuk mengubah keadaan.<br /><br />Lembaga usaha sudah ada, selanjutnya adalah melangkah ke depan, menapaki jalan panjang dengan harapan jalan tersebut akan mengantar kepada keberhasilan. Di depan ada sedikit peluang yang jika dimanfaatkan, mudah-mudahan dapat membantu mencapai keberhasilan. Kesempatan itu adalah event Hari Ulang Tahun Kabupaten Kuningan pada seminggu ke depan, berarti usaha kue ibu-ibu hanya memiliki waktu seminggu untuk mempersiapkannya. Menggunakan sedikit modal yang sudah terkumpul, Produksi dilakukan, tanpa mengetahui dengan pasti apakah kue akan berhasil terjual.<br /><br />Pameran berlangsung selama 11 hari. Hasilnya? Mengejutkan, sisa 70 toples! Hanya sedikit yang terjual. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan ibu-ibu menghadapi kenyataan tersebut, putus asa, bingung, pesimis… ini merupakan kesempatan pertama, langkah pertama, tapi hasilnya bukannya membuat lebih semangat lagi tapi malahan membuat putus asa. Terus bagaimana? Tapi barang masih banyak, masih bisa dijual, jangan putus asa. Ini kondisi krisis, karena ibu-ibu sudah keluar uang yang tidak sedikit bagi mereka, uang yang digunakan untuk modal bukan dari kelebihan uang, tapi dari kekurangan uang yang dimiliki oleh ibu-ibu. Daripada menyerah, yang penting sekarang selamatkan dulu uang ibu-ibu, walaupun nanti uang yang kembali tidak 100%. Para pedagang dan distributor kue dikumpulkan, hitung-hitungan keuntungan tidak lagi dipedulikan. Dengan usaha yang keras kue sisa tersebut berhasil dihabiskan, hanya sisa sedikit untuk dijadikan contoh produk dalam menawarkan produk selanjutnya.<br /><br />Prinsip hidup seorang binaragawan ternama, Ade Rai, yaitu “Tidak ada kerja keras yang tidak membuahkan hasil”, memperoleh pembuktian validitasnya oleh ibu-ibu. Melalui kerja keras memasarkan produk hasil sisa pameran kepada beberapa pedagang membuat para pedagang mengenal produk buatan ibu-ibu. Para pedagang tertarik, bahkan mereka tidak hanya mau membeli produk sisa tersebut, namun juga melakukan pemesanan untuk kebutuhan Hari Lebaran. Sampai dengan hari ini, tiga minggu setelah berakhirnya pameran, pesanan yang sudah dipenuhi sebanyak 640 toples kue kering, dan pesanan masih terus berlanjut. Dalam waktu sekejab, perasaan pesimis telah berubah menjadi optimis, bayangan kelam kegagalan dan kerugian telah berubah menjadi harapan cerah keberhasilan, pesanan berlimpah dan masa depan usaha ibu-ibu ada di depan mata. <em>Isn’t it a miracle</em>?Kristiawanhttp://www.blogger.com/profile/12035493348021294772noreply@blogger.com1tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-44692940231479031642007-09-24T15:56:00.000+11:002007-09-24T15:57:37.498+11:00JAMBU MENTE + SEJUTA MIMPIKamis 20 September 2007 subuh, pukul 04.30 rombongan berangkat dari Maumere ke lokasi. desa itu berjarak ± 30km tepatnya desa Ilepadung, Flores Timur, NTT. Berbicara NTT ada rumor yang mngatakan kalau itu adalah singkatan yang bisa mengandung konotasi poitif dan negatif. Positif = Nanti Tuhan Tolong atau negatif = Nasib Tempat Tertinggal. Setelah menanjak melewati gunung diselingi pipa air, mobil kami disengat oleh bau jambu mente (Anacardium occidentale) yang siap panen. Ya, menurut kalender musiman, bulan September sampai Oktober adalah masa panen raya. Artinya, mete yang sudah jatuh dipunggut, dibersihkan atau dipisahkan dari jambu/buah semunya (cashew), lalu kembali dibersihkan. Sebelumnya nanti di gradasi menurut ukuran dan bentuknya.<br /><br />Menuju lokasi, jalanan aspal sudah berhenti. Mulai berlubang, ditambah dengan debu yang tebal. Namun, semua itu seakan bukan halangan, ketika pandangan kami terarah pada pemandangan pesisir pantai yang menghampar luas serta merasakan angin laut yang sejuk hari itu. Ditambah latar belakang bukit-bukit yang menggunung. Memasuki dusun I dari IV dusun yang ada, terlihat Puskesmas Pembantu berwarna biru muda yang sedang disempurnakan, setelah itu terdapat Kantor Kepala Desa yang bersebelahan dengan ruang pertemuan dan lapak terbuka untuk kegiatan pasar tiap Selasa.<br /><br />Pukul 08.45 kami tiba di rumah ketua ketua kelompok tani dan perwakilan dari lsm yang mendampingi petani mente. Peran lsm ini bisa cukup berhasil, karena langsung menyetuh hal-hal yang sifatnya teknis dan praktis. Banyak kendala yang dia paparkan selama waktu berjalan. Mulai dari mengajarkan cara pencatatan administrasi kepada petani sampai dengan naik turun bukit untuk melihat langsung kondisi yang ideal bagi tanaman mente. Dedikasi, komitmen dan konsistensi kepada masyarakat terlihat lebih besar daripada sekedar pengabdian ke lembaga.<br /><br />Beberapa peningkatan yang kami lihat khsusunya di dalam budidaya mente yang selama ini dikembangkan Pertama, petani sudah mempunyai wawasan yang lebih luas akan budidaya mente yang selama ini telah dikembangkan. Contoh: pemelihraan kambing di areal sekita jambu mente ternyata dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan jambu mente khsusnya dalam masa vegetatif. Karena antara kambing dan pohoh jambu mente terjadi simbiosis mutualisme. Kambing membantu pertumbuhan dengan memberikan pupuk alami bagi pohon dan pohon pun memberikan buah semu untuk makanan si kambing. Kedua, produk mente yang dihasilkan oleh masyarakat sudah ada pasar yang menanti, baik dalam skala nasional atau internasional. Baru-baru ini sekita 40 ton mente dalam bentuk gelondong sudah menembus pasar Amerika. Ketiga, petani mente sudah mempunyai sistem kerja yang mandiri. Mereka sudah mengerti bagaimana melaporkan hasil penjualan mente, berapa keuntungan yang akan diperoleh, sampai dengan mempertimbangkan proses penerimaan anggota baru dalam kelompok tani mente.<br /><br />Selanjutnya kami singgah di rumah mantan kepala desa. Mantan kepala ini adalah calon kuat pada pemilihan kepala desa sebelumnya namun ia tidak terpilih lagi. Paras muka yang kolot, sorot mata tajam dan punya wibawa menjadi ciri khasnya. Ia tetap aktif menjadi panutan masyarakat. Bahkan perannya sangat total dalam mendukung pembangunan fisik.<br /><br />Dalam diskusi tersebut, hadir pula PPL (Petugas Penyuluh Lapang) Pertanian. Ia menjelaskan ada alternatif kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan untuk menambah pendapatan, yaitu budidaya rumput laut (seaweed) . Secara matematis, pendapatan antara rumput laut dan jambu mente, jauh berbeda. Dari rumput laut, petani bisa mendapatkan 2x lebih besar dari jambu mente. Itu pun hanya dalam waktu 1,5 bulan tidak seperti mente 12 bulan sekali. Namun secara psikologis, tidaklah mudah mengubah kebiasaan masyarakat dari budidaya di ladang pindah ke laut. Sebagai contoh, mereka rela mengeluarkan uang belanja nya untuk beli ikan di Larantuka, sekitar 12km lagi dari desa daripada mengusahakan sendiri dari laut yang sudah ada di depan mata. Tak aneh, masyarakat desa Ilepadung, disebut orang pesisir yang punya mental orang gunung.<br /><br />Moke atau minuman tradisional yang diambil dariu pucuk bunga pohon lontar (Nira) yang banyak tumbuh di desa itu. Secara pendapatan, komoditas ini adalah salah satu andalan mereka untuk menambah pendapatan RT. Tidak hanya untuk minuman, tuak dari pohon lontar juga dapat dimanfaatkan bagi gula merah atau anyaman. Bisa dijual atau dikonsumsi sendiri.<br /><br />Pembangunan fisik sejak bulan Juli 2007 lalu, hampir selesai. Berbagai bangunan siap diresmikan untuk mendukung aspek-aspek kehidupan dalam progam BSR. Yang masih ada disempurnakan atau dirapihkan dan yang belum tersedia juga dibangun guna mendukung roda kehidupan tadi. Ada sekolah, puskesmas, sarana produksi mente dan gapura. Awal November ditargetkan semua sudah done.<br /><br />Budaya atau adat sangat kuat dalam masyrakat ini. Mereka dilarang keras melakukan segala bentuk aktifitas selama 4 hari ketika salah satu anggota masyarakat meninggal dunia atau ketika menyambut musim panen dilangsungkan upacara khusus. Ini dapat menjadi kendala, ketika program yang dilterapkan tidak mengandung unsur budaya setempat, namun harus disiasati dan dipikirkan bagaimana menggabungkan budaya mereka dengan program yang ada.<br /><br />Masih banyak mimpi yang dapat berlanjut dan berkembang, baik sumber bumi atau sumber manusia, namun yang yang diperlukan adalah aksi !Anohttp://www.blogger.com/profile/12505626276308194621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-60373331306196024032007-09-12T20:35:00.000+11:002007-09-19T17:14:02.327+11:00LANGKAH AWAL UNTUK PENDIDIKAN<div align="justify">Dari ke empat aspek yang disentuh, program Rumah Kreatif (RK) ingin menjawab kebutuhan pendidikan. Disadari bahwa pendidikan adalah modal dan langkah besar untuk memajukan suatu bangsa atau komunitas dalam skala yang lebih besar. Dengan majunya pendidikan otomatis akan membangkitkan roda perekonomian, kesadaran akan lingkungan dan kemauan untuk berbuat sosial. pendidikan memang masih di anak tirikan oleh bangsa ini, buktinya dapat terlihat dari anggaran pendidikan yang masih jauh dibawah standar UUD 1945.<br /><br />Konsep RK yang diusung adalah: bagaimana bisa memberikan pendidikan yang konkrit kepada anak khususnya dan warga sekitar umumnya, tanpa memandang usia, tingkat pendidikan, status, atau golongan sehingga setiap anak memperolah kesempatan yang sama untuk mengecap pendidikan.<br /><br />Maka, 7 September 2007 lalu sekitar pukul tiga petang di balai desa Cipelang, kecamatan Cijeruk, Bogor, ditandatanganilah MoU atau nota kesepahaman antara Lembaga dan Yayasan yang ditunjuk serta Pemda Cipelang. Tujuannya adalah bentuk komitmen resmi agar program yang dijalankan nanti jelas. Masyrakat pun ikut memeriahkan seremoni ini dengan 10 buah tumpeng kreasi mereka dilengkapi jajanan kampung ala desa Cipelang. Tumpeng pertama diberikan oleh pimpinan kepada kepala desa, sebagai tanda kepecayaan lembaga kepada wakil masyarakat untuk turut medukung program.<br /><br />Rombongan pun menuju lokasi pembangunan RK. Berjarak hanya 100meter dari balai. Jajaran anak-anak SD itu menyambut rombongan. Ya, mereka adalah murid SDN 02 Cipelang. Sekolah itu tepat bersebelahan dengan lokasi pembangunan RK. Kondisi lahan yang berkontur.Pimpinan segera meresmikan RK dengan meletakkan batu pertama sebagai fondasi bangunan dan penanaman tanaman perdu oleh masyarakat setempat sebagai simbol komitmen masing-masing pihak.<br /><br />Sebuah babak telah dimulai, dan bukan menjadi patokan ketika ingin mencapai hasil yang diinginkan. Tetapi bagaimana proses pembelajaran masyarakat itu dapat terus bergerak dinamis dan berkesinambungan. Angin sejuk dan udara yang agak mendung bak harap dan haru akan komitmen lembaga ini untuk terus berkarya dan berbakti bagi kemajuan manusia Indonesia.<br />.</div>Anohttp://www.blogger.com/profile/12505626276308194621noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-11373825785595669202007-09-11T11:46:00.000+11:002007-09-13T15:58:02.229+11:00PEDOMAN MERENCANAKAN PROGRAM DESA KITA<div align="justify">Sesuai dengan namanya, strategic philanthropy selayaknya bersifat strategis. oleh karena itu pengembangan yang dilakukan baik fisik maupun non fisik harus berangkat dari tujuan besarnya dahulu, yaitu misi, baru kemudian turun menjadi sasaran, sub sasaran dan strategi kegiatan. Dengan demikian beberapa kegiatan yang kita rencanakan akan mengarah pada satu tujuan besar dan tidak saling terpisah. Keberhasilan dari masing-masing kegiatan tersebut selayaknya menyokong keberhasilan pencapaian visi dan misi. Uraian berikut menjelaskan hal tersebut serta beberapa contohnya.<br /><br />A. Misi dan Sasaran Program Desa Kita<br /><br />Misi:<br />“Mewujudkan masyarakat yang produktif dan mampu mengembangkan dirinya sendiri baik secara fisik (finansial/ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lingkugann) maupun secara psikis (pengetahuan, sikap dan perilaku)<br /><br />Sasaran:<br />Adalah tujuan yang dapat diukur pencapaiannya. Contoh:<br />Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)<br />Kemandirian dan Sustainability desa.<br /><br />B. Penjabaran IPM<br /><br />Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diadopsi dari Human Development Index (HDI) yang merupakan standar yang dipakai oleh semua negara di dunia untuk mengukur derajat pertumbuhan suatu negara, apakah termasuk negara maju, berkembang, atau tertinggal. IPM mengukur:<br />Panjang usia dan kesehatan, diukur dengan angka harapan hidup pada kelahiran.<br />Pengetahuan, diukur dengan tingkat melek huruf orang dewasa (dengan bobot 2/3) dan tingkat pendaftaran pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi (dengan bobot 1/3)<br />Kelayakan standar hidup, diukur dengan GDP per kapita dan paritas (keseimbangan) daya beli.<br /><br />C. Penjabaran Kemandirian dan Sustainability<br /><br />Disadari bahwa pengukuran IPM masih merupakan pengukuran yang masih bersifat kasar dan memiliki keterbatasan dalam mengukur standar kelayakan hidup manusia. Pengukuran IPM belum memasukkan modal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk dapat mengembangkan dirinya. Sedangkan salah satu nilai yang ditekankan dalam Program Desa Kita adalah kemampuan masyarakat desa binaan untuk terus mengembangkan dirinya sendiri setelah program Desa Kita dinyatakan selesai di desa tersebut. Untuk itu dibutuhkan pengukuran terhadap kemampuan sustainability dan kontinuitas pengembangan secara mandiri dari desa.<br /><br />Beberapa kondisi yang ingin dicapai berkaitan dengan kemandirian dan sustainability antara lain:<br />1. Desa memiliki kompetensi inti dan produk/komdoitas unggulan yang dikembangkan<br />2. Adanya kelembagaan dan operasionalisasi usaha desa yang melibatkan keseluruhan warga masyarakat desa.<br />3. Desa memiliki sistem pengembangan produk, terdiri dari kemampuan untuk melakukan survei pasar secara seerhana atau sistem umpan balik pasar tehradap produk.<br />4. Profitabilitas usaha desa.<br />5. Pengembangan permodalam usaha.<br />6. Tersedianya sumer daya manusia yang memiliki kapasitas yang cukup untuk mengembangakn perekonomian desa, baik untuk kebutuhan SDM saat ini maupun ayng selanjutnya. Oleh karena itu diperlukan pengembangan sumbe rdaya manusia bagi semua lapisan masyarakat desa, baik yang berada pada usaia produktif maupun yang masih anak-anak dalam bentuk optimalisasi pendidikan.<br />7. Terciptanya budaya saling berbagi informasi dan pengetahuan antar warga desa dalam bentuk Community of Practice (CoP) guna pengembangan terhadap pengetahuan secara kolektif yang dapat menyempurnakan manfaat dan nilai dari produk serta cara/sistem secara kontinu. CoP ditunjang/difasilitasi dengan organisasi/kelembagaan, praktek dari pengetahuan seperti misalnya usaha, dan teknologi dan alat penunjang penyimpanan dan penyebaran informasi dan pengetahuan.<br /><br />D. Penetapan Sub-Sasaran<br /><br />Sasaran di atas diturunkan menjadi sasaran yang lebih konkrit, lebih dapat terukur, lebih bersifat teknis dan operasional. Contoh penurunan sasaran menjadi sub sasaran:<br /><br />SASARAN: Desa Memiliki Kompetensi Inti dan Produk/Komoditas unggulan yang dikembangkan<br />SUB SASARAN:<br />a. Usaha Desa Memiliki Sistem Produksi yang Efektif dan Efisien.<br />b. Terdapat struktur eksternal antara usaha desa dengan pasar dan pemasok<br /><br />SASARAN: Adanya kelembagaan dan operasionaliasi usaha desa (internal process)<br />SUB SASARAN:<br />c. Memiliki kelembagaan atau asosiasi usaha yang saling mendukung dalam mengembangkan usaha yang memiliki kompetensi berkembang.<br /><br />SASARAN: Desa memiliki sistem pengembangan produk<br />SUB SASARAN:<br />d. Terdapat aktivitas penelitian dan pengembangan<br />e. Terdapat aktivitas komunikasi yang baik dengan supplier dan konsumen dalam rangka pengembangan produk<br /><br />SASARAN:<br />Profitabilitas usaha desa<br />SUB-SASARAN:<br />f. Tingkat keuntungan yang memadai<br />g. Peningkatan nilai tambah dari produk saat ini<br /><br />SASARAN: Akses permodalan usaha<br />SUB-SASARAN:<br />h. Terdapat Institusi penyedia kebutuhan modal yang tidak memberatkan pengusaha<br /><br />SASARAN: Kompetensi Sumber Daya Manusia<br />SUB-SASARAN:<br />i. SDM memiliki pengetahuan dan kompetensi untuk menghasilkan produk yang unggul<br /><br />SASARAN: Budaya saling berbagi informasi dan pengetahuan untuk pengembangan produk bersama<br />SUB-SASARAN:<br />j. Terdapat budaya berbagi pengetahuan<br />k. Terdapat kelembagaan Community of Practice (CoP) antar pelaku usaha desa.<br /><br /><br />E. Strategi pencapaian<br /><br />Setelah menetapkan sub-sasaran yang konkrit, selanjutnya adalah merumuskan strategi berupa aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran yang ditargetkan. Strategi atau rencana aksi yang disusun berangkat dari kondisi aktual, kemudian dibandingkan dengan sub-sasaran tersebut baru kemudian direncanakan tindakan intervensi guna menjembatani gap antara kondisi aktual dengan sub sasaran yang ingin dicapai. Contoh, kondisi aktual di desa sudah memiliki komoditas unggulan, tetapi belum memiliki daya saing yang tinggi dan belum terdapat hubungan dengan pasar. Dengan demikian strategi yang direncanakan berupa aktivitas untuk menjembatani antara kondisi aktual dengan sub sasaran yang diinginkan, misalnya: melakukan pelatihan desain produk, meningkatkan kualitas produk.</div>Kristiawanhttp://www.blogger.com/profile/12035493348021294772noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-63483065284713589492007-09-07T23:09:00.000+11:002007-09-07T23:53:04.382+11:00RUMAH KREATIF<div align="justify">Murid-murid berseragam putih merah lengkap dengan dasi berjajar berbaris di sisi kiri dan kanan jalan masuk ke sekolah. Wajah-wajah kelelahan karena seharian berjemur di panas matahari menanti upacara yang sebenarnya ya hanya sebuah upacara. Tawa yang menggelitik tersumbat di kerongkongan yang memang sudah gatal dari awalnya. Bayangkan saja, kuncir yang sudah melesat tak jelas, rambut yang basah karena peluh, dasi yang melingkar tak beraturan di leher, serta lendir hidung yang naik turun tergambar wajah-wajah anak-anak tak berdosa di sekolah SD Cipelang. Kadang hampir tidak masuk akal sehat, kenapa di tengah terik matahari yang membakar sangar, masih saja anak-anak diwajibkan ke sekolah dengan mengenakan lengan panjang, celana panjang serta berdasi pula. Keanehan memang bagian dari khazanah bangsa kita. Kalau bukan aneh, ya bukan kita. Tapi laiknya hidup dalam sebuah masyarakat, tidak bisa tidak, nilai-nilai yang sudah terbangun bersama onggokan sejarah harus dipatuhi. Itulah hakekat hidup bermasayarakat.</div><div align="justify">Hari ini, tanggal 7 September 2007, mungkin bisa menjadi hari yang berarti bagi mereka dan bagi lembaga tempat kami mencari nafkah. Rencana rumah kreatif yang sudah lama dibahas dan bolak balik dibahas, sampai hampir hangus kedua sisinya, akhirnya diresmikan. Diresmikan dalam sebuah upacara peletakan batu pertama, penanaman pohon, dan penandatanganan MOU triparti antara pemda, yayasan dan lembaga. </div><div align="justify">Menurut rencana tanah pemberian desa yang luasnya sangat luas, akan didirikan bangunan persegi banyak dengan pusat kekuatan yang bermuara di tengah lingkaran. I love this style (as if it's mine). Bangunan ini benar-benar mencerminkan spirit yang ingin diciptakan dalam program rumah kreatif, penyatuan energi semua yang hadir di dalam rumah tersebut menjadi satu kekuatan. Sekarang tinggal bagaimana mengupayakan kehadiran mereka yang dapat memetik manfaat dari rumah kreatif.</div><div align="justify">Menghadap ke gunung salak menghampar bangunan seluas 600 M2 berbentuk persegi banyak tempat bernaung anak-anak, baik yang masih sempat berdasi, maupun mereka yang hanya menggunakan tali sayur untuk mengikat celananya, baik yang berlengan panjang, maupun yang berlelehan lendir hidungnya. </div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-1469179921441197262007-09-06T20:29:00.000+11:002007-09-08T00:11:36.801+11:00VALENTINE, CITARASA, BOGARASA ATAU SINAR MEKAR?<div align="justify">Lembaga usaha kue kering disambut hangat oleh mereka. Kami hanya memfasilitasinya dengan penjelasan secara umum sebuah cikal bakal lembaga komersial, mulai dari divisi perencanaan sampai pemasaran serta penjelasan tugas-tugas pokok masing-masing divisi. Nah selanjutnya mereka sendiri yang berjalan. Terlihat ada kemandirian dengan penunjukkan ketua secara langsung dan demokratis juga anggota yang menangani masing-masing divisi itu. Memang, mereka agak canggung dan malu bahkan sempat menolak ketika namanya dicalonkan tapi semangat dan motivasi yang tinggi untuk maju dari keadaan mereka sebelumnya maka semunya itu luntur. Alhasil, terbentuklah lembaga usaha kue kering yang sederhana tapi punya target yang jelas. Sang ketua langsung menetapkan pertemuan selanjutnya agar dapat dibicarakan, jenis kue apa yang mereka akan produksi, branding, packing sampai harga yang akan dijual. Diskusi ini cukup berjalan agak panjang karena setiap ibu-ibu punya opini masing-masing, mereka harus menentukan nama apa yang cocok dari pilihan “Valentine”, “Citarasa”, “Bogarasa” atau “Sinar Mekar”. Atau harga yang bervariasi mulai dari 11.900 – 19.000 rupiah. Mereka juga sepakat, keuntungan yang sudah ada dari penjualan kue kering hasil lomba kepada ibu-ibu Pipebi dapat menjadi modal bersama untuk memulai. Bahkan lebih dari itu, mereka juga punya komitmen bersama untuk memberikan kontribusi masing-masing 20ribu/orang sebagai tambahan modal.<br />Menurut Etienne Wengger dalam buku Cultivating Communities of Practice tahun 2002, dari ketujuh prinsip dalam Communities of Practices, apa yang sudah dilakukan oleh ibu-ibu Mekarjaya, sudah memasuki tahap ketiga. Dimana setiap peserta telah menggambil partisipasi dan komitmen mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Ketika diwawancarai ibu ketua lembaga mengaku bahwa kelompok usaha yang sudah terbentuk bukan saja profit oriented tapi juga dapat menyatukan social oreinted atau terjadi ikatan emosional antar ibu-ibu, dia percaya bahwa faktor inilah yang dapat menentukan keberlangsungan lembaga ini. Disamping itu anggota lainnya juga menyampaikan bahwa produk mereka bukan saja harus diminati di tingkat Mekarjaya, kecamatan Cimahi, kabupaten Cirebon atau Propinsi Jawa Barat bahkan harus sampai bisa menembus pasar global. Suatu mimpi yang tidak mungkin tidak terjadi. Maju terus ibu-ibu!</div>Anohttp://www.blogger.com/profile/12505626276308194621noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-32445135951546767722007-09-03T11:51:00.000+11:002007-09-07T23:59:51.667+11:00THE FIELD OF HOPE<div align="justify"><span style="font-family:georgia;">Bola sudah mulai bergulir. Program Desa Kita sudah memasuki tahap pengembangan ekonomi desa. Ibu-ibu diharapkan menjadi tulang punggung. Wajar saja karena Bapak-Bapak di Desa Mekar Jaya merantau ke Jakarta, sehingga populasi terbesar terdiri dari Ibu-Ibu. Penganan kering adalah potensi yang ada di hampir seluruh wilayah Jawa Barat dan membuat kue kering juga menjadi salah satu potensi yang ada di Desa. Masalah berikutnya adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa mereka juga bisa, sebagaimana halnya ibu-ibu lainnya.<br />Untuk menimbulkan harapan, semangat dan minat, dilakukan lomba kue kering dengan menggunakan resep yang mereka miliki. Ada yang mengambil dari Perpustakaan, namun ada pula yang mengambil dari khazanah Pribadi. Lomba dilakukan untuk memenangkan piala Ibu Bupati. Lomba tersebut memberikan mereka pengalaman dalam membuat kue. Pengalaman adalah bagian yang sangat penting dalam mengembangkan pengetahuan.<br />Berbekal pengalaman tersebut, Ibu-ibu diberikan kesempatan untuk menjual hasil jerih payahnya di perayaan Ulang Tahun lembaga. Hasilnya, cukup untuk standar desa, namun masih memerlukan peningkatan, khususnya dari proses maupun rasa. Namun tujuan untuk membangun harapan, semangat dan minat sudah mulai bertumbuh, karena Ibu-ibu berulang kali menanyakan kapan program akan berlanjut.<br />Upaya kedua dilakukan dengan mengundang tenaga ahli. Dixon menyebut upaya ini sebagai transfer of knowledge dari ahli. Untuk itu diundang Ibu-ibu dari Natural Cooking Club untuk mengajarkan proses pembuatan yang baik, benar dan bersih. Lengkap dengan celemek dan topi ala juru masak hotel berbintang lima, mereka bekerja dalam kelompok mengikuti setiap langkah yang diajarkan. Sebelumnya mereka juga diberikan kelas motivasi dan cara penghitungan sederhana bisnis kue kering. Lama pelatihan berlangsung 2 hari dan mencakup pula pengemasan kue. Hasilnya, sudah jauh lebih baik dari sebelumnya, namun untuk berjaya di pasar masih memerlukan sentuhan lainnya. Berangkat dari sini diputuskan untuk membentuk Community of Practice kue di desa.<br />Terkait dengan hal tersebut, kembali rombongan kami berangkat ke desa untuk melaunch community of practice yang pertama. Targetnya CoP akan dilaksanakan 2 minggu sekali. Hasil dari CoP 1, sudah mulai memperlihatkan tanda-tanda keberanian untuk mencoba-coba hal yang baru. Sebelum mereka memasuki CoP yang kedua mereka diberi peluang untuk mengikuti pameran kue di wilayah sekitar yang diadakan oleh Pemda. Tidak terlalu banyak yang diimpikan dari pameran, selain membangun ladang harapan.<br /><br /></span></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-64641430639848267592007-08-16T11:52:00.000+11:002007-09-08T00:12:04.057+11:00KEMANA PARA REMAJA ?<div align="justify">Mengenai remaja yang tidak mengikuti program pengembangan keterampilan, saya juga sempat bertanya kepada seorang guru yang mengaku memilih peserta, beliau mengatakan bahwa para remaja yang menjadi kriteria sebagian besar sudah merantau ke kota-kota besar, yang belum pun sedang bersiap-siap untuk merantau. Dengan kondisi demikian, sayang kiranya jika nantinya ilmu yang diberikan kepada mereka ikut dibawa pergi dan tidak ada yang tinggal di desa. Oleh karena itu, beliau mengatakan mengambil inisiatif untuk memilih anak-anak berusia di bawahnya dengan pertimbangan mereka lebih lama tinggal di desa, sampai mereka kelak akan pergi meninggalkan desa mengikuti jejak kakak-kakak mereka jika perekonomian di desa belum dianggap layak untuk memberikan nafkah kehidupan.<br /><br />Di kesempatan yang berbeda, saya juga mendapatkan curahan perhatian dari salah satu rekan yang ikut mempersiapkan penataan ruangan sehari sebelum acara berlangsung. Beliau mengatakan kurangnya kepedulian kaum remaja di desa baik kepada program itu sendiri maupun kepada desanya. Hal ini setidaknya diindikasikan berdasarkan pengalaman Beliau yang seorang perempuan, saat menggotong meja dan kursi yang cukup berat bagi kaum perempuan dan beberapa remaja lewat di depan balai desa, namun tidak ada sedikit pun niat untuk membantu, mereka hanya lewat saja tanpa merasa perlu untuk terlibat. Tidak satu pun remaja terlibat membantu persiapan acara, yang ada hanyalah para pamong desa yang terdiri dari orang-orang yang sudah dewasa. Rekan saya tersebut bahkan mengambil kesimpulan awal, bahwa para remaja di desa sangat bersifat individualistis dan tidak peduli sama sekali terhadap desa sendiri.<br /><br />Ini baru gejala awal, belum dapat ditarik kesimpulan. Tapi setidaknya, dapat sedikit terlihat bahwa ada satu kalangan yang tidak lengkap di desa Mekarjaya, yaitu kaum remaja. Pada program sebelumnya, kita berhasil menarik kalangan anak-anak SD, SMP, dan Ibu-ibu untuk aktif membangun desa mereka melalui program Desa Kita. Namun ketika kita hendak beranjak ke kalangan yang belum disentuh sebelumnya, yaitu kaum remaja, terlihat adanya gejala yang berbeda.<br /><br />Untuk dapat menyimpulkan apakah yang menjadi gejala awal ini benar-benar ada atau tidak, perlu pengumpulan data yang lebih lengkap. Namun jika memang gejala ini benar-benar ada, maka mungkin (menurut saya) kita mau tidak mau memutus generasi remaja usia SMA ke atas dalam program Desa Kita. Biarkanlah mereka mengejar tuntutan kebutuhan jangka pendek mereka, karena kita pun tidak mungkin dapat memenuhinya. Selanjutnya kita dapat membidik generasi di bawahnya, yaitu usia SMP untuk bersiap-siap menyongsong desa mereka yang baru, yang lebih menjanjikan sehingga kelak ketika mereka mencapai usia kakak mereka, mereka tidak perlu mencari hidup di tempat lain, karena di desa mereka pun mereka bisa memperolehnya. Kita bisa berharap bahwa ketika mereka menjadi benar-benar remaja, mereka bisa membantu orang tua mereka mengembangkan usaha yang menjanjikan di desa Mekarjaya yang pasar dari produknya juga menjangkau kota-kota besar.<br /><br />Alternatif kedua, kita tetap memberdayakan remaja, hanya yang diberdayakan adalah remaja yang tinggal di desa, yaitu remaja wanita. Tantangan yang dihadapi jika memilih alternatif kedua adalah ketika remaja wanita ini sudah memiliki tradisi yang kuat yang menghambat perkembangannya, seperti misalnya bahwa setelah tamat SMP, mereka mempersiapkan diri menjadi pendamping suami. Ini baru permisalan, karena belum diketahui apakah yang terjadi seperti itu.</div>Kristiawanhttp://www.blogger.com/profile/12035493348021294772noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-59363250066447397032007-08-10T13:54:00.000+11:002007-08-16T12:12:18.117+11:00ANOTHER TRIP TO MEKAR JAYA<div align="justify">I felt that time is moving very slowly and so is our program everywhere in all those villages. Unless it is handled then people will read our news as bragging. No choice but move on to the next step. </div><div align="justify">Here comes the story of another trip to Mekar Jaya. A bundle of program need to be settled. We started with the cooking class. This is meant to be the second cooking class. With the assistance of our consultant we have gone through the first. Then the product was launched during the 58th anniversiry of my organization. In terms of quality it wasnt bad, but I cant say it's good. However, the event has put them in a motivation roller coaster. Unless we manage their motivation, it will fade out. </div><div align="justify">The second cooking class was meant to improve the process of cooking. I was lucky that the Natural Cooking Class assisted me. I like their process in which Ibu-ibu are encouraged to form a community of practice without even mentioning the jargons. Hopefully it works, though I know that another intervention need to be organized. Out of this second class, their process in cookie production was sharpened. The next motivation roller coaster will be on, when they are asked to produce cookies for Lebaran. Should they manage to do this, then I have the third cooking class in mind, aiming at improving the taste. Melt in your tongue and twirl your mind. That might sound like a good tag line for their product. </div><div align="justify">Beside the cooking class, we also kicked off the Teater Sampah. Basically creativity and sense of art is the end goal of this program. It is aimed at children up to year four. We tease their spirit with an initial movie. They looked happy and sounded excited. I could not wait for the next day program to start for I had to go home. On the next day program, they would be asked to write down a simple story and created the puppets for the performance. The puppets are made of recycle stuff. This program covers art, creativity and environmental issues.</div><div align="justify">I am not really keen on the computer and English program, because they dont meet my expectation. Those involved in this program were not the people that I expect would run the whole information system in the village. They were just kids who were curious of Personal Computer. I just wonder if it is possible to build an information system with a bunch curious kids. I was expecting the teenagers to get involved and run the program. Eghhhh.....</div><div align="justify">English was held for the sake of "I dont know what". I expected to see English for computers, but again....kids were attending this class. As I went through the classes...goodness.... they were irrelevant. I dont know what to say, english and computers are held to meet the requirements of a knowledge village, it's not there for the sake of entertaining people with twirling expectations that through the program they would be able to use the computers and english. Anyway...another program has to be run to make the dream come true, but this time we have to start with another angle. Maybe the concept of having a database for the cooking class will do. Let's see!!!</div><div align="justify">I love the educational program. We have managed to speak with the Kasudin and the principal as well the teachers. They themselves stated that they wanted to be Sekolah Unggulan, though they know that the roads ahead are steep and winding and they are the key players.</div><div align="justify">Anyway, another program and another trip. I still have two other Desa in my mind that need to be rocked. </div><div align="justify"></div><div align="justify"></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-79359538786152210212007-07-05T17:13:00.000+11:002007-07-13T17:14:30.068+11:00STARLET<div align="justify">Elis nama panggilannya. Elis adalah salah satu wartawati cilik yang terlibat dalam program Desa Kita. Dia hadir di hadapan saya dan berkata: "Elis dan teman-teman mau mengucapkan terima kasih pada kantor Ibu. Rasanya seperti mimpi, Elis sekarang sudah diminta untuk menjadi penyiar di salah satu radio. Awalnya Elis jadi MC untuk suatu acara. Radio tersebut langsung mengajak Elis untuk bekerja jadi penyiar. Elis senang sekali." </div><div align="justify">Sedetikpun Elis tidak memberi peluang untuk disela. Luapan kegembiraan yang penuh di dada tumpah ke dalam tutur yang mengalir.</div><div align="justify">Tak lama kemudian Elis bersama dengan 2 peserta dari Desa Manding dan Desa Ilepadung naik ke panggung dalam rangka menyampaikan ucapan terima kasih kepada lembaga tempat saya bekerja. Dua lainnya berbicara dalam bahasa Indonesia yang disisipkan logat dan kosa kata daerah masing-masing. Ketika tiba pada giliran Elis, dia berdiri dengan pasti memandangi hadirin dan sebuah puisi meluncur dan mengalun dari bibirnya. Puisi yang dibuatnya sendiri dan disampaikan dengan penuh rasa ketulusan sehingga membuat mata sebagian hadirin berkaca-kaca. Tepuk tangan yang panjang menyambut bagian akhir dari puisi Elis.</div><div align="justify">Kebahagiaan yang tidak terbayarkan oleh segala kebendaan di dunia ini adalah ketika sebuah bintang kecil lahir dari program Desa Kita. Bintang yang diharapkan dapat menerangi dan memotivasi anak-anak lain di desa-desa lain. Sebuah bintang yang entah seberapa kecil, tapi tetap menjadi cahaya dalam kekelaman malam. Sebuah bintang kecil sebagaimana digambarkan oleh Gareth Lancaster dalam bagian puisinya yang sederhana:</div><br /><div align="center"><span style="font-size:85%;color:#000099;">Look at the stars,</span></div><div align="center"><span style="font-size:85%;color:#000099;">Way up there,</span></div><div align="center"><span style="font-size:85%;color:#000099;">So very far away.</span></div><div align="center"><span style="font-size:85%;color:#000099;">High in the sky,</span></div><div align="center"><span style="font-size:85%;color:#000099;">They shine so white,</span></div><div align="center"><span style="font-size:85%;color:#000099;">And never seem to stray</span></div><div align="center"><span style="font-size:78%;"></span></div><div align="justify"><span style="font-size:100%;">A starlet was the birthday present for the organization.</span></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-68214997651533150692007-06-20T02:40:00.000+11:002007-07-13T17:22:03.050+11:00GAPURA HARAPAN<div align="justify">Tidak ada yang perlu dipersalahkan bila nestapa menimpa. Tidak ada yang perlu dituding ketika duka menggoret luka. Kata sabar tidak cukup. Iming-iming uang bukan solusi. Berdiam dan merenung sejenak untuk menggeliat bangkit. Mungkin hanya itu ucap yang terlontar. Tidak lebih karena memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan di luar itu. </div><div align="justify">Bencana gempa yang menimpa Yogya beberapa waktu yang lalu menyisakan duka yang cukup dalam. Tapi niat untuk bangkit dari keterpurukan mengakar kuat, seperti halnya di dusun Manding, desa Bantul. Nuansa kebangkitan sudah mulai terasa. Perekonomian yang mengandalkan kulit dan serat alami sudah mulai menggeliat. Toko-toko kecil sepanjang jalan masuk desa berbaris menyambut kehadiran pengunjung. </div><div align="justify">Permasalahan yang ada di desa Manding, bukan hanya permasalahan gempa. Tapi jauh sebelum gempa itu sendiri hadir, ada "gempa" yang lebih besar yang sudah berdiam cukup lama bersama mereka. Gempa besar itu dinamakan inovasi. Tuntutan akan adanya inovasi mendesak hebat, namun inovasi itu sendiri bukan seorang bujang lapuk yang walaupun sudah termakan usia masih saja kesepian dalam kesendirian. Inovasi cenderung poligamis dan memerlukan paling tidak 2 istri pendamping, yaitu kreativitas dan pengetahuan. Anak dari hasil poligami luar biasa banyaknya, misalnya kompetensi inti, pengetahuan tentang pasar, branding dsb..dsbnya. Yang semacam ini memang layak untuk berjodoh dengan program Desa Kita yang berniat untuk mengembangkan Desa Pengetahuan. </div><div align="justify">Dusun Manding ingin sekali dikenal sebagai Desa Kulit. Oleh karenanya Desa Kita beraksi dan dengan segera menciptakan brand dari Dusun Manding melalui pembangunan gapura yang menjadi saksi bisu proklamasi Dusun Manding sebagai Pusat Kerajinan Kulit di Yogya. Memang hanya sebuah benda mati yang disebut gapura. Tapi ada banyak harapan dan tuntutan yang tersimpan di baliknya. Harapan akan menemukan produk yang dapat menjawab kebutuhan produk kulit dari sebuah desa yang menamakan dirinya Desa Kulit. </div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"> </div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-79657830149243229112007-06-18T17:50:00.000+11:002007-06-20T01:00:55.542+11:00THE HEAVEN BEHIND THE CLOUD OF DUST<div align="justify">The temperature is hot and dry. Dust flew into the air as we travelled through the path. It's a totally different world. It's like entering the world of enigma where silence and tranqulity are another names for mysteries. Once in a while, we saw traditional houses and the local people sat in front of their porch. We must have been some among the few strangers that enter this area. Their eyes were fixed on us as they followed us with their head until we vanished into the cloud of dust. </div><div align="justify">Upon entering the gateway of Desa Tanjung Bunga, Ilepadung, we felt a complete change. The green <a href="http://www.iptek.net.id/ind/pd_tanobat/gambar/jambumon.jpg">Cashew trees </a>were standing neatly in rows. From a distance they look like a velvety carpet that directs us to a palace. The crystal clear blue water greeted us with jolted joy and shiny splashy look. A sense of relief occupied our mind. It had been a-6-hour-journey from Maumere to Ilepadung, travelling through the winding and dusty roads. </div><div align="justify">We stopped at the center and were greeted with a warm welcome by the Kepala Desa. He explained the processing of cashews. The entire backyard of the building was occupied with <a href="http://indonetwork.co.id/member/s_153552_rawcashewnuts2005crop.jpg">raw cashew nuts</a>. They were drying them up on the cemented area and depended heavily on the sun. Once the cashew shells are dried enough to be processed further, they will be taken to another area. This area are dominated by males, they are in charge of cracking the hard shell. The interior of the shells contains a caustic resin, known as cashew balm, which must be carefully removed before they are fit for consumption. They use the traditional <a href="http://indonetwork.co.id/member/196463_kacip.jpg"><em>Kacip</em></a> to crack the shells and take the nuts with the soft skin. The room where they work look more like a dungeon, it is dark and somber. </div><div align="justify">Girls, children and female were wearing bandana sitting in a clean room with proper ventilation and lights. They worked and smiled shyly as we posed some questions. To one of the girls I asked her being there instead of at school. She said, I have finished my elementary levels and have decided to work. In this area they clean the soft skin of dried cashews and packed them. The cashews were ready to be exported.</div><div align="justify">Ilepadung has a great potential to produce organic cashews. However, poverty drives them away from efforts to develop themselves economically. Those raw cashews are sometimes sold cheaply because they are in need of cash. According to an international institution who has been assisting them with cashew farming, the traditional people sometimes ignore their commitment to the international buyers simply because they are in need of cash.</div><div align="justify">They have the resources, both human and natural resources. They also receive assistants from international organization in terms of cashew production. What they need now is an integrated assistance to bail them out of poverty. Here we come.... another Desa Kita.</div><div align="justify"></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com2tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-30142652268475273792007-06-18T03:30:00.000+11:002007-06-20T00:56:46.134+11:00DI SANA ADA BINTANG<div align="justify">Mencari desa yang tepat untuk proram Desa Kita bukan pekerjaan mudah. Dari 3 wilayah yang diusulkan salah satu di antaranya adalah sebuah desa di Pulau Bintan, Kepulauan Riau yang memiliki keunggulan budi daya Ikan Kerapu. Dari hasil penjajagan awal yang bermuara pada informasi sekunder, diperoleh masukan bahwa desa tersebut memang layak untuk dijadikan Desa Kita.</div><div align="justify">Perjalanan awal menghadirkan tim penjelajah Desa Kita di Batam. Pemahaman dan <em>sense of ownership</em> dari kantor cabang menjadi target awal dari sosialisasi. Pada akhirnya Kantor Cabang yang akan melakukan operasionalisasi harian dari implementasi Desa Kita. Target berikutnya adalah melakukan base line survey ke lokasi. Jadi perjalanan diarahkan ke lokasi pada keesokan harinya.</div><div align="justify">Dari kota Batam, ditempuh perjalanan 1 jam menuju ke pelabuhan, melalui jembatan Jembatan Tengku Fisabilillah yang arsitekturnya mengadopsi konsep Golden Bridge di San Fransisco, Amerika. Nama populer dari jembatan ini adalah Barelang (Batam, Rempang dan Galang) yang membentang sepanjang 642, menghubungkan pulau Batam dan pulau Tonton. </div><div align="justify">Hari masih pagi ketika tim tiba di sarana transportasi antar pulau. Perjalanan laut membutuhkan waktu tempuh selama 40 menit. Untungnya, udara cukup baik, sehingga kekhawatiran hujan yang akan menimbulkan ombak menjadi tidak valid. Dari perjalanan pergi dan kembali tertangkap gambaran pegawai yang <em>commuting. </em>Transportasi laut adalah sarana utama, sehingga bisa saja terbersit untuk menerapkan konsep <em>bus way </em>untuk sarana transportasi laut (hehehe...permasalahan di kota dibagi ke laut).</div><div align="justify">Setibanya di pulau Bintan yang ibukotanya Tanjung Pinang, perjalanan direncanakan untuk terus berlanjut ke tempat tujuan. Perjalanan ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan menggunakan mobil pribadi. Dalam perjalanan tertangkap kisah penjualan pasir ke Singapura yang menyisakan kubangan-kubangan besar dan dalam menyerupai danau. Penjualan tersebut konon kabarnya terjadi dalam skala yang cukup besar. Bahkan pulau Nipah sudah hampir tenggelam. Singapura menggunakan pasir tersebut untuk program reklamasi pantai yang sudah dicanangkan semenjak tahun 1976. Luas wilayah daratan negara kecil Singapura itu semakin bertambah. Semula hanya sekitar 581 km2, pada tahun 1991 telah berubah menjadi sekitar 646 km2. Sejumlah pihak malah mendata bahwa luas daratan Singapura pada 2001 sudah membengkak sekitar 760 km2. Sedangkan batas wilayah Indonesia dengan Singapura belum tuntas hingga detik ini.</div><div align="justify">Dalam perjalanan Pulau Bintan terkesan kering dan gersang. Ada sejumlah tanah yang cukup luas dan subur yang digunakan untuk pertanian. Hasilnya berupa sayur- sayuran di ekspor ke Singapura. Namun sangat disayangkan potensi tersebut tidak memiliki kepastian karena status tanah dimiliki oleh orang kaya yang tinggal di Jakarta. Di pulau Bintan ini terdapat Bintan Resort yang sayangnya dalam kesempatan ini tidak menjadi tujuan dari kunjungan tim. Di kalangan pejabat beredar pembicaraan kalau belum pernah main golf di pulau Bintan maka belum lengkap untuk menyandang predikat <em>golfer</em>. </div><div align="justify">Mendekati target tujuan, tim dibingungkan dengan transportasi menuju pulau. Sarana transportasi yang ada hanyalah kapal tongkang dan perjalanan membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Di daerah penyeberangan, hanya ada 1 restoran dan 1 rumah penduduk. Rumah penduduk berikutnya berjarak beberapa kilometer dari tempat ini, dan jumlahnya pun tidak banyak. Sulit membayangkan pengembangan Desa Kita di wilayah ini. Entah bagaimana cara transportasi sarana fisik yang dibutuhkan dan juga cara pemantauan program Desa Kita. Terlebih lagi, sangat sedikit penduduk yang bermukim di pulau tujuan tersebut. Biaya tampaknya akan tinggi dan nilai manfaatnya akan sangat kecil.</div><div align="justify">Dari restoran yang ada diperoleh informasi bahwa pengunjung restoran hanya ada pada akhir pekan. Jumlahnya tidak banyak. Namun karena restoran di kelola oleh keluarga dan menu yang ditawarkan berasal dari laut, maka keberlangsungan restoran tersebut tetap terjaga. Dari penduduk diperoleh informasi bahwa ikan sudah mendekati kepunahan karena pencemaran yang ditimbulkan oleh penggalian bauksit. Penggalian yang dilakukan tanpa adanya tindak restorasi lingkungan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan sekitarnya. Bila hujan tiba, erosi tanah bersama sisa-sisa bauksit terbawa ke laut. Demikian pula ketika bauksit di transportasikan dengan menggunakan kapal, serpihan yang jatuh mencemari laut dan meracuni mahluk laut. Kebetulan pada sore hari akan ada penjadwalan dari Pemda untuk memonitor keluhan penduduk. Sayangnya kita tidak bisa menunggu sampai sore hari.</div><div align="justify">Perjalanan hari itu menghadirkan beberapa kesimpulan yang membuat usulan implementasi Desa Kita di daerah tersebut menjadi tidak mungkin alias gagal untuk dilaksanakan. Beberapa alasan utama adalah kompetensi inti yaitu hasil budi daya laut yang terancam bahaya pencemaran. Peluang untuk mengalihkan ke pertanian terhambat karena alasan kepemilikan tanah walaupun di lain sisi potensi ekspor ke Singapura menunjukkan hasil positif. Faktor penghambat lainnya adalah transportasi, pembangunan fisik dan pemantauan program akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit. </div><div align="justify">Suasana malam di Tanjung Pinang masih tersisa dari jendela kamar di hotel. Langit yang cerah bertaburan bintang mengintip di balik tirai. Ada banyak harapan yang menggelantung disana. Harapan yang tidak dapat dijawab dengan program Desa Kita.</div><div align="justify"></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-20846480913746012032007-06-16T02:33:00.000+11:002007-06-20T00:57:16.620+11:00THE COLORS OF PAPUA<div align="justify">What had been the image of Papua in my cognition? Black and white, until last month when I had a chance to visit Papua. Papua is now a vibrant and multi-colored place for me. A place where beauty lies in abudance and yet a vivid picture of irony. </div><div align="justify">I landed in Sentani airport after 6 hours flying. The airport is just another typical major airports in Indonesia, small and not well managed. The plane landed and all the passengers had to walk to the main entrance of the airport. The view was heavenly green. I only had one line to say:"I love this place" and I believe that explains everything. .</div><div align="justify">Another Desa Kita in Papua. Our branch office had given us a short list of three. The trip was aimed at capturing the baseline survey. I had missed the other two surveys but still had one to follow. The one that we went to was Koya. It lies near <a href="http://www.deviantart.com/deviation/56155497/?qo=10&q=by%3Achamos&qh=sort%3Atime+-in%3Ascraps">the sea</a> at the border of Papua and PNG. We were welcome warm heartedly by the formal and informal leaders of the village. We sat in a circle by the sea in a traditional meeting place.</div><div align="justify">It's not really easy to deal with the indigenous nor is it hard. It's just a matter of being sensitive to the local culture. <em>Menginang</em> is one traditional way of dealing with the indigenous. Tracing it back to the year of 1930, <em>menginang</em> was considered as an ethical way in developing relationship in Papua. In every cultural gatherings, meetings, <em>menginang</em> is considered a must. <em>Menginang</em> is a symbol of equality. No issues will be discussed in any gatherings and meetings unless <em>buah pinang, batang sirih </em>and <em>kapur</em> are served on the table.</div><div align="justify">On our way to Koya, the driver stopped on the curb of the street and bought <em>"Buka Kontak"</em> in a black plastic bag. I saw the black plastic bag and a glue pot in the middle of the circle. Everybody in the circle took <em>buah pinang</em> from the plastic bag and dipped <em>batang sirih</em> in the glue pot which contained <em>kapur</em>. They chewed them together until their mouth got burned and their saliva turned red. They spit the saliva to the ground or anywhere around. It is common to see the walls with red spots. Red is <a href="http://www.deviantart.com/deviation/56170246/?qo=5&q=by%3Achamos&qh=sort%3Atime+-in%3Ascraps">another color of papua</a>. The discussion went smooth. I saw the light of hopes in their eyes, but we managed to make them understand that this was just a base line survey.</div><div align="justify">On the way home from Koya, we held a discussion and decided that we were going to promote the previous village as another Desa Kita. There other village is equipped with one good school and acres of fertile land. Two families from outside Papua came there to grow cocoa and enjoyed a well to do life. Koya might be in a less fortunate condition compared to this village. However, this village has more potentials compared to Koya. Developing Desa Kita is a project that speaks with the heart but it also requires us to be rational. We have to work hand in hand with the local people. So there should be an asset that we can start with. It takes two to tango.</div><div align="justify">Prior to going back to Jakarta, I had a chance to go to the Baliem Valley in Wamena. This is the richest and the most beautiful area in Papua yet this is the less developed part of Papua. It took one hour to fly from the city to the Valley. Upon my arrival at the small airport in Wamena I was greeted by the local people in his <a href="http://www.deviantart.com/deviation/56170746/?qo=4&q=by%3Achamos&qh=sort%3Atime+-in%3Ascraps">local traditional wear</a>. </div><div align="justify">The view in Baliem Valley was incredible. The richness of the culture is astounding. I went to Kurulu and visit the village of the indigenous who still lives in their traditional environment. They live in Honai. They still kept <a href="http://www.deviantart.com/deviation/56171202/?qo=3&q=by%3Achamos&qh=sort%3Atime+-in%3Ascraps">the mummy of the warrior </a>and the mummy is more than 350 years old. <a href="http://www.deviantart.com/deviation/56171570/?qo=2&q=by%3Achamos&qh=sort%3Atime+-in%3Ascraps">The females </a>breast feed both their babies and their pigs. As with the man, according to the culture, if one member of the family died, the man has to cut a part of his fingers. Ownership of land is determined by the culture. Goverment land regulations are ignored. </div><div align="justify">Along the way I saw deserted brick houses. The brick houses were built by the government for the local people. However, the brick houses turn out not to be their home. So they built Honai at the back part of the house and live there peacefully. Another affirmation, being sensitive and appreciating the local culture need to be underlined or else Desa Kita will have a tendency to fail. </div><div align="justify">On the way back to Jayapura, I felt like I had been living in this place for ages. It's like being exposed to countless snap shots of Papua within fleeting moments. The total journey painted a mixture of black, white, blue, red, green, yellow and various <a href="http://www.deviantart.com/deviation/56169946/?qo=6&q=by%3Achamos&qh=sort%3Atime+-in%3Ascraps">colors of Papua</a> in my mind. Papua, the land of abundance yet the people are living in a depriving condition. A well suited place for Desa Kita. </div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><p align="justify"><br /></p><div align="justify"></div><p align="justify"><br /></p>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-28080176214509431772007-06-13T18:10:00.000+11:002007-06-16T01:51:05.944+11:00GABPRES<div align="justify">Pentingnya informasi dalam sebuah desa pengetahuan adalah mutlak. Membuat informasi sebagai bagian dari kehidupan mereka adalah wajib. Kepada para remaja di desa mulai diperkenalkan rasa nyaman dalam bergaul dengan informasi. Kalau sebelumnya ada pustakawan , berikut ini wartawan. Ya...wartawan cilik!!!</div><div align="justify">Proses pembelajaran dilakukan secara bertahap, diawali dengan mengasah sensitivitas terhadap peristiwa di lingkungan yang dapat dijadikan berita serta persiapan dalam mengembangkan dan mengolah berita. Kebetulan pada saat bersamaan ada peresmian penggunaan bangunan-bangunan yang sudah siap. Dipilih 10 orang wartawan cilik yang diberikan kesempatan untuk melakukan wawancara secara real. Bayangkan saja, baru terjun sudah mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Bapak Bupati, Ibu-ibu Pimpinan. Untuk memacu keberanian, maka dibentuk kelompok yang akan mewawancarai dan menuliskan hasil wawancara tersebut. Proses wawancara yang berlangsung menarik perhatian masyarakat dan bahkan dijadikan berita dalam salah satu majalah yang sudah mapan di negeri ini. Dapat dibayangkan remaja SD dan SMP mewawancarai petinggi negara.</div><div align="justify">Kalau di awalnya mereka diberi kesempatan untuk mengasah sensitivitas dan uji nyali dalam berkiprah di dunia wartawan, maka program selanjutnya adalah mengajarkan cara menulis yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang diatur dalam dunia wartawan. Sebagaimana dalam proses sebelumnya, mereka juga dibantu kakak-kakak yang sudah bergelut sebagai profesional di bidang kewartawanan, sebuah transfer pengetahuan secara langsung dari ahlinya (Nancy Dixon dalam <em><a href="http://www.providersedge.com/docs/book_reviews/Common_Knowledge.pdf">Common Knowledge </a></em>menjabarkan 5 jenis transfer pengetahuan dalam Knowledge Management, salah satunya adalah transfer dari ahli). Mereka dilatih untuk membuat berita dan proses ini mencatat berbagai kisah menarik dan lucu yang akan digambarkan dalam kesempatan lain. </div><div align="justify">Agar program ini tidak berhenti di tengah jalan, maka dibentuk pula kepengurusan yang melibatkan guru dan kepala desa serta dilakukan urun rembug mengenai nama media desa yang akan diterbitkan. Berbagai usulan bermunculan sebelum akhirnya disepakati untuk menetapkan Gabpres sebagai nama majalah remaja Desa Kita. Gabpres merupakan kependekan dari Gabungan Anak Berprestasi. Penerbitan perdana Gabpres akan dilakukan pada bulan Juli 2007. Selamat datang ke dunia informasi Anak Berprestasi.</div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-20830997373561140762007-06-12T11:24:00.000+11:002007-06-13T11:54:41.417+11:00MENJADI LILIN<div align="justify">Ada banyak fenomena yang aneh yang bergulir terus di tengah masyarakat. Sebagian orang mati-matian ingin belajar sebagian lagi mati-matian ingin berhenti belajar. Terus belajar adalah salah satu prasyarat dalam membangun desa pengetahuan yang <em>sustainable. </em>Bagaimana caranya agar upaya untuk terus belajar dapat tumbuh dan berkembang di desa pengetahuan. </div><div align="justify">Salah satu program yang digulirkan di Desa Kita adalah membangun rumah pengetahuan atau perpustakaan. Sekarang bagaimana caranya untuk mengubah <em>a house </em>menjadi <em>a home</em>. Bagaimana menjadikan perpustakaan tempat yang nyaman untuk belajar, tanpa paksaan. </div><div align="justify">Salah satu prasyarat untuk membangun sebuah <em>home</em> adalah kepemilikan. Kepemilikan yang dimaksudkan disini bukan kepemilikan hukum, tapi keinginan untuk memelihara yang dilandaskan pada cinta kasih. Untuk sampai ke taraf tersebut maka anak-anak sekolah dan guru perlu dilibatkan dalam proses pembangunan perpustakaan. Ada banyak bentuk keterlibatan yang dapat dikembangkan dari mulai ikut mengusulkan buku, menjadi pengurus dan ikut memelihara dan terlibat dalam operasionalisasi perpustakaan. </div><div align="justify">Perpustakaan Desa Kita diberi nama <a href="http://www.republika.co.id/koran_detail.asp?id=293731&kat_id=253">Perpustakaan SD Mekar Jaya</a>. Koleksi buku mencapai 4000 koleksi yang mencakup berbagai isu seperti buku pelajaran sekolah, referensi, koleksi agama, koleksi kuliner, koleksi pertanian dan lain sebagainya. Sebagian dari buku-buku tersebut merupakan usulan penduduk Desa Mekar Jaya yang dirangkum dalam beberapa pertemuan. </div><div align="justify">Dalam proses pembangunan fisik, penduduk desa Mekar Jaya dilibatkan sebagai bagian dari tenaga kerja pembangunan perpustakaan dan juga bangunan-bangunan lainnya. Dalam pembangunan isi dari perpustakaan, dikerahkan sejumlah murid yang tergabung dalam program pustakawan cilik. Kepada mereka diberikan juga kesempatan untuk mengenal cara klasifikasi buku, membuat kantong kartu, menyampul buku. Tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut agar mereka lebih mencintai buku-buku yang ada. Selanjutnya dibuat program majalah dinding yang pengelolaannya dilakukan pula oleh para murid dibawah bimbingan seorang guru. Dalam proses operasionalisasi perpustakaan, para pustakawan cilik terlibat secara bergilir untuk melaksanakan operasionalisasi perpustakaan. Sementara itu pengurus perpustakaan terdiri dari kepala sekolah dan beberapa orang guru. Keterlibatan diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta dan rasa cinta diharapkan mendorong timbulnya kepemilikan. Kepemilikan pada akhirnya akan mendorong <em>sustainability </em>keberadaan perpustakaan.</div><div align="justify">Problema terbesar lainnya selain kepemilikan adalah keuangan. Entah seberapa besar keinginan untuk berkembang tanpa ada dukungan finansial akan sulit dilaksanakan. Sejauh ini telah dirancang program sederhana untuk dukungan keuangan bagi perpustakaan yang bersumber dari pengelolaan perpustakaan itu sendiri. Tentunya jumlah tersebut masih terbatas. Untuk sementara pengembangan memang masih berada dalam bagian dari program. Ke depan, bila program perekonomian telah bergulir akan ada subsidi silang dari program tersebut untuk perpustakaan. Mudah-mudahan mereka tidak membacanya sebagai salah satu bentuk pajak tambahan. Rancangan keuangan memang akan mudah dilaksanakan di atas kertas, namun sulit dilaksanakan. Mudah-mudahan semua berjalan sesuai dengan rencana. Satu harapan kecil yang terselip di benak ini adalah kesediaan Pemda untuk membantu keuangan agar <em>sustainability</em> terjaga. </div><div align="justify">Sejauh ini perpustakaan telah berdiri selama 6 bulan dan telah dioperasionalisasikan, jumlah pengunjung masih dalam taraf yang relatif menengah. Dalam lomba kue yang dilaksanakan antara Ibu PKK, pemenangnya adalah orang yang belum pernah membuat kue, tapi hanya mengikuti resep yang tertera di salah satu buku kuliner yang tersedia di perpustakaan. Pak Kepala Desa juga dengan piawai berdebat soal tanaman jarak yang akan konon katanya akan ada investor dari kota. Pengetahuan tersebut diperoleh pak Kades dari buku tentang tanaman jarak yang tersedia di Perpustakaan. Majalan Dinding sudah terbit 2 x dan tampaknya masih membutuhkan dorongan untuk terus berkembang, baik dalam tampilan maupun dalam frekuensi penerbitan.</div><div align="justify">Ada banyak harapan yang timbul dari program di Desa Kita. Pemenuhan harapan hanya bisa tercipta bila ada koordinasi, dan bukan kecaman. Lebih baik menyalakan lilin daripada mencela kegelapan. </div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-19277967701723124902007-06-11T21:32:00.000+11:002007-06-13T14:06:33.213+11:00DEALING WITH PEOPLE<div align="justify">Desa Kita adalah upaya yang terfokus pada manusia, oleh karena itu aspek kemanusiaan yang perlu dikedepankan, bukan hanya pembangunan-pembangunan fisik. Tidak ada yang akan menyangkal hal ini, namun demikian dalam prakteknya jarang ada yang mau berkutat di luar pembangunan fisik. Lebih mudah membangun fisik dan selesai. Selebihnya, siapa yang peduli!!</div><div align="justify">Pentingnya manusia dalam konsep Desa Kita diterjemahkan dalam segmentasi dari kelompok manusia (karena tidak mungkin menyentuh individu) di desa kita. Dengan niat menghargai kelembagaan yang sudah terbentuk selama ini maka pengelompokkan di Desa Kita dilakukan atas dasar kelembagaan yang sudah ada selama ini. Untuk kelompok anak sekolah tergabung di dalam OSIS, untuk kelompok lingkungan desa menjadi bagian dari Karang Taruna, untuk kelompok Ibu-Ibu termasuk dalam PKK, untuk kelompok pengusaha yang tegabung dalam Lembaga Keuangan Desa (LKM) dan untuk kelompok agama yang tergabung dalam pusat pengajian/gereja/vihara/pura, untuk kelompok pengurus desa, guru, digabungkan dalam kelompok pelayanan publik. Ada yang kurang-kurang sreg, jangan terlampau dipermasalahkan, nanti disesuaikan lebih lanjut di lapangan.</div><div align="justify">Pendekatan dengan menggunakan kelompok akan mempermudah upaya mengidentifikasi kebutuhan dari masing-masing kelompok untuk kepentingan kelompok dan bukan individu. Kebutuhan dari masing-masing kelompok perlu disinergikan agar dapat mengarah pada satu tujuan, yaitu menjadikan Desa Kita sebagai desa pengetahuan. Oleh karena itu perlu ditetapkan arah dari pengembangan manusia yang sejalan dengan konsepsi Desa Pengetahuan.</div><div align="justify">Dalam konsepsi desa pengetahuan ada beberapa kriteria manusia yang perlu dikembangkan, yaitu keinginan untuk terus belajar (tidak sebatas belajar formal), niat untuk berbagai, kreativitas, sensitivitas, rasionalitas yang perlu terjalin di dalam program-program yang akan dijalankan di Desa Kita. Muara akhir dari kriteria-kriteria tersebut diharapkan dapat mendorong timbulnya <em>sustainability </em>dalam berinovasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh sebuah desa pengetahuan. </div><div align="justify">Semua segmen perlu dikembangkan ke arah kriteria-kriteria tersebut di atas, namun dengan alasan bekerja tidak perlu hard, tapi harus smart, maka fokus utama dari setiap kriteria di arahkan dengan usia perkembangan dari manusia. Kreativitas diarahkan pada pelajar kelas 1-4, sensitivitas pada pelajar kelas 5 sampai dengan SMP, Rasionalitas diarahkan mereka yang di SMA dan tergabung dalam Karang Taruna. Sharing dan learning akan menjadi bagian dari kelompok PKK, Jasa Pelayanan, kelompok LKM dan kelompok agama.</div><div align="justify"><em>"When dealing with people, let us remember we are not dealing with creatures of logic. We are dealing with creatures of emotion, creatures bristling with prejudices and motivated by pride and vanity." (</em>Dale Carnegie).</div><div align="justify"></div><div align="justify"></div><div align="justify"></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-48360553519382069362007-06-09T17:28:00.000+11:002007-06-16T01:50:01.250+11:00DESA PENGETAHUAN<a href="https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhHkj3HQIArb5YtCYMgzZWRPSboQMFZZvtpgzDhOZcXxWju1KyhJPG_9jIF0uRCHtYPstWkPNJOPQ-LdBYGIiTkFuwSNAGIVrz11VzhrzQo2teAyCTIWNyZzvveJzsIh4pMm2jE/s1600-h/ist2_745865_rosebuds.jpg"></a><br /><div align="justify">Konsep desa pengetahuan mungkin bisa jadi beban tersendiri bagi pengembangan konsep Desa Kita. Berani benar merancang sebuah desa pengetahuan dalam konteks sebuah desa yang IPMnya rendah? IPM sendiri adalah suatu konsep yang ditelurkan oleh UNDP pada tahun 1990 yang terfokus pada pengembangan manusia dan bukan hanya ekonomi. Ada tiga komponen besar yang dikaitkan dengan IPM yaitu peluang hidup yang dihitung dari angka harapan hidup ketika lahir, pengetahuan (<em>knowledge</em>) diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas, serta hidup layak yang dihitung dari pengeluaran per kapita.</div><div align="justify">Yang ingin disoroti disini adalah istilah pengetahuan. Dilihat dari indikator yang digunakan maka istilah pengetahuan merujuk pada pengetahuan formal yang diperoleh dari dunia pendidikan formal. Sementara istilah pengetahuan yang dirujuk dalam desa pengetahuan adalah kemampuan, skill, intuisi apapun itu yang mereka miliki, realita yang ada dihadapan mata dan bukan apa yang diimpikan. Sulit rasanya bila kita ingin berangkat dari apa yang seharusnya ada. Lebih mudah bila mengawali semuanya dengan apa yang ada. Mustahil, di Desa Kita mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Konsep desa pengetahuan tidak berbeda dengan trend yang berkembang biak pesat belakangan ini yaitu <a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Knowledge_economy"><em>Knowledge Based Economy</em></a>. Bagaimana menjadikan desa tersebut sebagai desa yang memanfaatkan pengetahuan unik yang mereka miliki untuk pengembangan perekonomian desa. Ujung-ujungnya akan diarahkan pada pengembangan perekonomian desa, namun tali temali yang terkait dengan konsep tersebut ada dimana-mana, seperti masalah kesehatan, masalah pendidikan dan masalah lingkungan. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Konsep pengetahuan dalam konteks ini mengacu pada pengetahuan yang bersemayam di benak manusia (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Tacit_knowledge">pengetahun tacit</a>) dan pengetahuan yang telah dikodifikasikan serta bertebaran di luar benak manusia (<a href="http://en.wikipedia.org/wiki/Explicit_knowledgehttp://">pengetahuan eksplisit</a>). Yang mana yang lebih penting? <em>Dont ever start creating any endless arguments</em>...keduanya penting dan penggabungan dari keduanya akan menjadi sebuah kekuatan. Bentuk nyatanya seperti apa? </div><div align="justify"></div><div align="justify">Pengetahuan apa yang dimiliki di desa dan dapat dijadikan competitive advantage bagi desa tersebut? Pengetahuan yang dapat dijadikan sumber penghasilan utama desa dan telah direalisir ke dalam produk tangible. Dari pengetahuan ini disusun standar kualitas dan proses, brand dan target market. Pengetahuan ini perlu dilindungi dalam bentuk hak cipta. Dalam implementasi selanjutnya Desa Pengetahuan akan melibatkan desa sekitar untuk menghasilkan produk tangible yang menggunakan pengetahuan mereka. Untuk itu desa sekitar diwajibkan membayar royalti bagi penggunaan pengetahuan tsb. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Untuk menjaga <em>sustainability</em> (<em>goodness, I feel my life is so heavy with all these terminologies</em>) dan nilai dari royalti tersebut, Desa Pengetahuan harus terus mengembangkan produk, brand dan pasar yang disebut sebagai inovasi. Di sinilah ke 3 aspek lainnya memainkan peranan penting, yaitu aspek edukasi, lingkungan dan kesehatan. Ke 3 aspek ini terutama difokuskan pada generasi muda yang bermukim di Desa Pengetahuan, mendorong mereka untuk berperan dan terlibat langsung dalam program Desa Pengetahuan. Caranya akan dicantumkan dalam tulisan berikut-berikutnya. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Phewww...kalau dipikir-pikir tidak mudah. Seharusnya yang beginian jangan hanya dipikir melulu, tapi perlu implementasi. <em>Loosing a battle without entering the war</em>!!!</div><br /><p></p><br /><div align="justify"></div><br /><div align="justify"></div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-24256847514445679062007-06-09T01:00:00.000+11:002007-06-13T13:57:43.460+11:00MALING AYAM<div align="justify">Ada kalanya kalangan internal maupun eksternal di lingkungan tempat saya bekerja mempertanyakan buat apa sih lembaga tempat saya bekerja melakukan upaya pengembangan desa? Pertanyaan ini pada umumnya ditautkan pada fakta bahwa lembaga tsb adalah lembaga non komersial yang tidak butuh “iklan” untuk memasarkan produknya. Sambil garuk-garuk hidung, saya bingung. Soalnya berbuat baik disamakan dengan iklan. Tapi menjawabnya tidak mudah karena tidak tahu harus mulai dari mana.<br /><br />Salah satu kenyataan telak yang berkumandang di tengah masyarakat adalah rasa tidak percaya. Hal ini acapkali dilontarkan dalam ucapan maupun tindak perilaku. Terorisme politis telah berhasil mendudukkan rasa tidak percaya dalam koridor utama kehidupan masyarakat. Coba deh, menembus kompleks perumahan elite Pondok Indah. Portal demi portal akan menghadang dan memaksa kita mengambil langkah balik. Penghuni tidak percaya pada orang yang bukan penghuni yang mencoba untuk berlalu lalang di depan huniannya. Main hakim sendiri seperti memukuli maling ayam sampai mati adalah perwujudan lainnya dari rasa tidak percaya yang ditujukan pada aparat hukum.<br /><br />Bisa dibayangkan bila tempat saya bekerja tidak dipercaya oleh masyarakat. Apa jadinya dengan kebijakan yang diterbitkan untuk menata salah satu sistem yang berlaku di masyarakat. Dijalankan sih iya...tapi seperti halnya kasus maling ayam, masyarakat akan berupaya keras untuk menggebukinya sampai mati karena tidak percaya. Dengan demikian pembangunan desa merupakan salah satu bentuk upaya untuk membangun rasa percaya masyarakat terhadap lembaga. Eittt...entar dulu..bukan membangun desanya, tapi niat baiknya untuk membuktikan saling ketergantungan antara lembaga dengan lingkungan yang perlu dibuktikan dalam bentuk saling berniat baik. Pembangunan desa kebetulan menjadi pilihan bentuk perwujudannya. </div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-80938001159496987342007-06-08T16:42:00.000+11:002007-06-08T17:09:36.541+11:00NIAT BAIK KOK DIATUR?Beberapa waktu yang lalu saya diundang oleh IPB untuk membicarakan konsep CSR. Sebenarnya males melabel konsep Desa Kita dalam bungkusan CSR, soalnya label tersebut sudah diabuse oleh nuansa politis. Namun berhubung pihak panitia sudah membungkusnya dalam kemasan CSR..what else could I do.<br /><br />Singkat cerita, di dalam seminar tersebut, ada 3 pihak yang diundang. Lembaga tempat saya bernaung, suatu perusahaan pertambangan dan sebuah LSM yang bergerak di bidang CSR. Ada beberapa pemahaman yang terlontar disana dan fokus utamanya adalah bahwasanya CSR harus merupakan solusi bagi masyarakat dan sustainable against CSR sebagai kosmetik perusahaan dan political platform.<br /><br />Untuk pengetahuan, boleh lah, ada pemahaman dan kesepakatan disana. Namun ada satu hal yang benar-benar membuat bulu kuduk saya berdiri. Peserta dari LSM memproklamasikan dirinya sebagai pihak yang mengawasi efektivitas dari implementasi CSR yang dilakukan oleh organisasi dan lembaga. Selanjutnya yang lebih membuat saya ternganga-nganga adalah rencana menjadikan CSR sebagai suatu kewajiban yang akan dijadikan bagian dari UU Perseroan Terbatas. Yang lebih mengejutkan lagi ada kabar burung yang mengatakan bahwa akan dibuat departemen khusus.<br /><br />Ada beberapa keheranan yang terungkap dalam benak. Kalau CSR tersentralisir dan dananya difokuskan pada suatu departemen khusus....isnt it another kind of tax yang dibebankan pada perusahaan etc...anyway...terlalu pagi untuk sampai kesini karena undang-undangnya belum jelas.<br /><br />Next, kenapa ya... niat baik orang harus ditata. Konsep CSR khan sebenarnya bermuara pada konsep interdependensi antara suatu institusi, organisasi dengan masyarakat di sekitarnya. Jadi harus timbul dari kesadaran institusi atau organisasi akan konsep interdependensi tersebut. Kalau dipaksakan...kapan mau sadarnya??? Pingsan terus deh...bangsa ini. Edan!!!Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-1153642411897221102006-07-23T19:11:00.000+11:002007-06-15T16:07:58.346+11:00KERIAAN<div align="justify">Tepatnya pada hari Rabu, tanggal 20 Juli 2006 di Desa Mekarjaya. Gadis-gadis berpupur dan bergincu, kakek berkopiah hitam, ibu menggendong bayi dan bocah yang lendir hidungnya mengering di pipi hadir di sekolah SDN Mekarjaya. Masih ada ratusan dan bahkan ribuan gadis berpupur, kakek berkopiah, ibu dan bayi serta bocah-bocah lainnya disana. Kekeringan yang melanda desa Mekarjaya dibasahi oleh hujan keriaan yang membawa harapan. </div><div align="justify"><br />Kehadiran pimpinan tertinggi untuk meresmikan program Desa Kita di sambut secara luar biasa untuk ukuran desa Mekarjaya. Di mata-mata yang hadir terbersit berbagai harapan. Harapan yang dikhawatirkan bukan merupakan harapan yang sama dengan yang ditargetkan. Harapan biasanya dikaitkan dengan wishful thinking, mimpi bersama, dari ketidakberwujudan menjadi kenyataan. potensi-potensi kedua belah pihak yang seharusnya disintesakan terlupakan begitu saja, seperti bibit padi yang menggoler dan mengering karena ketiadaan air yang membasahinya, kehilangan potensinya, hanya karena hujan alpa hadir.<br />Kering dan getas, bumi Mekarjaya. Gemerlap lampu kota mengundang penduduk Mekarjaya untuk mencari perbaikan nasib di sana. Indotel, Indo Mie Telor, mata pencaharian di kota. Solusi semu. Menggeser masalah dari desa ke kota dan kembali lagi ke desa. “Permasalahan di kota, penyelesaiannya di desa, permasalahan di desa, penyelesaiannya di kota”, ujar pimpinan tertinggi. Mekarjaya, bukan hanya Mekarjaya, tapi bagian dari kehidupan kita. Desa Kita. </div><div align="justify"><br />Harapan, juga ada di mata pimpinan. Harapan agar penduduk Mekarjaya menyadari bahwa solusi hanya ada di diri mereka, ada pada potensi mereka. Lembaga yang dipimpinnya hanya memberikan sarana, membantu proses, tapi semuanya berpulang pada mereka sendiri. Rampak gendang menyambut kehadiran Putra Harapan. Mengalunkan irama ceria yang membungkus rintihan kemiskinan. Suaranya bertalu-talu menghardik nurani, menggetarkan langit. </div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-1152803136459655932006-07-14T02:03:00.000+11:002007-06-13T14:05:33.533+11:00RAMBUT DAN KUMIS TIPIS SERTA CINCIN BERBATU<div align="justify">Derit roda kereta yang menggilas rel besi berdentam-dentam mengoyak kesunyian malam. Perjalanan kereta malam seperti titik, koma dan tanda tanya. Akhir perjalanan sebuah hari yang meninggalkan buah-buah pikir yang menggelantung di bibir malam. Buah pikir perjalanan ini, perjalanan desa kita hari ini, dari Kantor Bupati di Kuningan kembali ke Jakarta.<br /><br />Pada awalnya, rambut dan kumis yang mulai menipis dilengkapi dengan cincin berbatu menghadirkan banyak pertanyaan di benak ini. Kecurigaan memang nama tengah masyarakat kita. Tapi masyarakat juga tidak dapat dipersalahkan begitu saja. Kecurigaan tersebut memang telah lahir dari banyaknya ulah mereka yang ’berambut dan kumis tipis mengenakan cincin berbatu’ yang lainnya . Sudah menjadi semacam prototype dalam menilai pria ’berambut dan kumis tipis dengan cincin berbatu’. Tapi yang satu ini tampaknya beda. Dia menjadi semakin beda ketika dia berujar: ”Jangan melakukan pemerkosaan!. Niat baik orang lain untuk menolong harus disambut dengan rencana nyata untuk mengimbangi pertolongan tersebut. Kalau kita hanya mengharapkan pertolongan tanpa melakukan apa-apa, itu yang saya sebut tadi ’pemerkosaan’.!” Duh.... masih ada yang seperti ini di jajaran pemerintah daerah rupanya. Mudah-mudahan apa yang kita lihat dan dengar bukan hanya sebuah bungkusan. Tapi sebuah bongkah emas yang selama ini berselimut debu kecurigaan.<br /><br />Desa Kita terfokus pada aspek pendidikan, kesehatan, lingkungan dan perekonomian. Duet antara program Desa Kita dan program Pemda akan berjalan seiring menembus batas angan menuju bentangan realita. Untuk pendidikan, peningkatan fasilitas sekolah berupa perpustakaan dan rumah baca serta program cinta membaca dari Desa Kita akan dilengkapi oleh program wajib belajar dari Pemda. Pembangunan fasilitas kesehatan dari program desa kita akan dilengkapi dengan peralatan kesehatan oleh Pemda, Pembangunan irigasi dari Desa Kita akan dilengkapi dengan pelatihan pengawas air oleh Pemda dan Program Pelestarian Hutan Jati Emas dari Pemda akan dilengkapi dengan bibit dari program Desa Kita. Sekilas, it comes out right!. Program Desa Kita dan Program Pemda berjalan searah, seimbang. Tidak terjadi ’pemerkosaan’ dan terjalin secara cukup seimbang.<br /><br />Penduduk desa.... gosh... hampir terlupakan! Bagaimana mungkin? Peran kita ini diumpamakan sebagai pihak keluarga yang merasa bertanggung jawab untuk melaksanakan perhelatan perkawinan. Aktivitas dan kesibukan telah menciutkan pandangan besar kita menjadi myopic. Sibuk mematut-matut gaun untuk diri sendiri, dan melupakan gaun sang pengantin. Sederhana sebenarnya, tapi seringkali terjadi. Penduduk desa, sang pengantin yang terlupakan Kapan ya waktunya penduduk desa diundang untuk memberikan pendapat atas program Desa Kita?????.</div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-1152244478881606482006-07-07T14:53:00.000+11:002007-06-13T14:04:27.231+11:00STARTING WITH THE END IN MIND<div align="justify">Biarpun ini pemikiran mengenai Desa Kita kagetan, tidak pernah terbersit sedikitpun bahwa ini adalah sesuatu yang remeh-temeh. In fact, ini harus jadi model panutan. Bayangkan saja, kalau setiap organisasi memilih satu desa untuk dibantu secara terfokus! Tapi bagaimana? Berbagai literatur membahas masalah ini dan banyak ide-ide liar yang menari-nari di benak. Permasalahannya bukan ide. Siapa saja bisa mimpi dan boleh mimpi, tapi bagaimana mengalirkan mimpi menjadi kenyataan, <em>that’s the art of management</em>. Mengalirkan ide menjadi suatu konsep yang terstruktur.<br /><br /><em>“Starting with the end in Mind”….</em> Mungkinkah menjahit baju tanpa pola?; atau membangun rumah tanpa blue print? Mungkin saja…tapi baju dan rumah apa yang di dapat? Pertanyaan yang paling mendasar yang perlu diajukan adalah “Mengapa program ini ada?”, mengapa program ini diperlukan?” Program ini ada karena setiap lembaga memiliki kewajiban untuk menciptakan nilai tambah, bukan hanya untuk dirinya sendiri, tapi juga untuk masyarakat. Duh..kesannya sok ideal gitu. Coba ideal dikit nggak apa-apa juga kali ya. Nilai tambah apa yang bisa ditautkan dengan produk lembaga?<br /><br />Bermimpi bukan hanya buah tidur. <em>Reality leaves a lot to the imagination</em>, kata John Lennon; <em>I dream my painting and then paint my dream</em>, kilah Vincent van Gogh. Mimpi dan realita agar ditata untuk duduk setara, tidak berseberangan. Terlalu naif kalau bicara tentang mimpi yang besar untuk Desa Kita. Cukup sebatas adanya sebuah kesadaran akan potensi dan peluang untuk pemberdayaan potensi mereka. Kalau sudah ada semangat dan selanjutnya menyadari potensi diri, rasanya sudah luar biasa. <em>This is the end but the end in mind</em>. Ini suatu awal.<br /><br />Bagaimana caranya untuk membuat <em>the end in mind</em>, yang adalah sebuah mimpi bersanding setara dengan realita. Salah seorang Pimpinan Tertinggi di lembaga ini berpendapat:"Harus mulai dari ekonominya. Kalau ekonominya sudah membaik, otomatis yang lain akan ikut baik." Otomatis, catet!!! Mesin bisa otomatis, tapi <em>we are dealing with human and zillions of their complicacies</em>. Masih inget 30 juta untuk restorasi rumah rakyat di Yogya? Menurut Cak Nun (lagi-lagi Cak Nun, biar aja... dia memang pantes dikagumi) dampaknya lebih hebat dari gempa itu sendiri???? Iming-iming tersebut telah membuat orang Yogya yang mulai termotivasi untuk membangun wilayahnya menjadi termotivasi untuk menantikan uang kaget dan uang-uang kaget lainnya. Yah..kalau dari pelajaran ini, manusianya menjadi lebih penting, terutama <em>values </em>dan perilakunya. Mau di debat lagi juga bisa sih! Kayak telur dan ayam….<br /><br />Telur dan ayam?? Mana duluan? Ntar dulu... kita lihat dulu yah...sebenarnya seperti apa sih profil desa yang dijadikan ”Desa Kita”. Kepentingan Desa Kita yang harus di dahulukan, bukannya keinginan kit, apalagi cuma masalah telur dan ayam. </div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0tag:blogger.com,1999:blog-30667647.post-1152069352669974082006-07-05T14:13:00.000+11:002007-06-13T14:04:57.324+11:00A STITCH IN TIME SAVES NINE<div align="justify">Konsep Desa Binaan seperti sebuah <em>déjà vu </em>program. Muncul dipermukaan secara tiba-tiba tanpa pernah dipikirkan atau direncanakan terlebih dahulu tapi kok rasanya familiar. Konsepnya juga pada awalnya sederhana,yaitu menyatukan program bantuan ke desa yang tertinggal. Kalau pada awalnya kita membantu berbagai pihak secara parsial dan sifatnya sekali tembak. Kali ini terpikir untuk melakukan secara terpadu dan dapat membawa perubahan terhadap kehidupan di desa.</div><div align="justify">Kedengarannya mulia dan sederhana namun ketika pemikiran tersebut ingin dituangkan ke dalam sebuah konsep nyata, permasalahan dan bayangan kegagalan mulai menghantui. Tidak sedikit cerita kegagalan yang tertoreh sepanjang sejarah. Beberapa yang terekam di benak adalah : pembangunan yang bertumpu pada ekonomi saja akan memicu masalah sosial yang tidak sedikit. Lalu, perubahan yang mengabaikan aspek sosial budaya memiliki kecenderungan gagal karena tidak mendapatkan dukungan. Perubahan yang tidak didefinisikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan desa hanya akan melahirkan konsep-konsep kosong karena, lagi-lagi tidak mendapat dukungan. Memang perubahan bukan hal yang gampang. Belum lagi upaya melakukan perubahan perilaku selama ini lebih sering gagal ketimbang berhasil. Nakut-nakutin banget!!!</div><div align="justify"><em>However, the show must go on!</em> Untung ada Cak Nun yang berbicara tentang bekerja dan bekerja, karena itu kewajiban manusia, sukses itu akan mengekor setelah bekerja. Mirip seperti Andre Wongso<em>:”Success is my right!”.</em> Yah....kerja aja, implementasi, ketimbang berlama-lama di konsep dan dihantui bayangan kegagalan. <em>A stitch in time saves nine</em>. </div><div align="justify"></div><div align="justify">Sebagai konsep yang munculnya kagetan, sudah dapat dipastikan pasti akan banyak kritikan yang timbul. Sudah siap kok. Kritikan pertama mengarah pada nama. Desa Binaan, kok, kesannya superior banget sih! Untuk kali ini kita harus melupakan Shakespeare <em>"What's in a name? That which we call a rose, by any other word would smell as sweet."</em> Konstruktivisme bisa mengobah 'mawar' menjadi 'kembang kertas' atau 'harum mawar' menjadi 'bau kematian'. Semua bergantung pada <em>mental model</em> yang mempersepsikan mawar itu sendiri. Jadi nama desa binaan bisa saja menebarkan harumnya 'mawar' atau harumnya 'kematian'. Berhubung dalam kasus desa binaan, wangi mawar dicium sebagai bau kematian maka nama perlu diobah, jadi..... ???</div><div align="justify">Dari nama merambah pasti ke konsepnya, proyek ini seharusnya pemberdayaan, bukan pembinaan. Duh.. tambah berat aja, memberdayakan orang yang merasa dirinya tak berdaya adalah pekerjaan yang cukup rumit dan kusut. Anyway... paling tidak kita sudah mencatat bahwa tidak boleh tidak, program ini harus diawali dengan motivasi. Potensi yang sudah sekian lama terkubur di dalam liang kemiskinan, harus digali. </div><div align="justify">Kembali ke soal nama, desa binaan..., nama apa ya yang tepat?? Dalam sejumlah forum...ada berbagai nama yang terlontar, tapi kok hati belum sreg. Konsep kaget memang harus kagetan juga kali ya....dan ”<em>eureka”,</em> nama pengganti yang dicari-cari akhirnya ketemu juga.... ”Desa Kita”. Masalah mereka khan masalah kita juga, bukan?</div>Ibuhttp://www.blogger.com/profile/02612945436528541666noreply@blogger.com0