Tuesday, December 04, 2007

KAMPUNG KITA KOYA KOSO

Kurang lebih 45 menit perjalanan kami tempuh dari kantor lembaga setempat. Melewati lembah dan menyusuri tepi gunung merupakan pemandangan yang menjadi khas bagi mereka yang melintasi trans Papua. Belum lagi bentangan laut yang terhampar luas sejauh mata memandang. Tempratur hari itu cukup adem, dari biasanya.

Akhirnya, rombongan kami tiba di lokasi disambut oleh tarian khas adat setempat yakni Tari Sanggal. Sambutan susulan dilanjutkan ketika rombongan memasuki area peresmian, oleh baliho 10x5meter dengan tulisan “Peletakan Batu Pertama Kegiatan Social Responsibility” Sayang.....pesan yang tertulis dengan warna merah dilengkapi dengan blueprint bangunan fisik yang memenuhi baliho itu sepertinya mengecilkan arti tanggungjawab sosial lembaga. Tidak dipungkiri, pembangunan fisik adalah bukti nyata komitmen lembaga akan keseriusannya pada masyarakat. Namum perlu diingat, niat tulus lembaga adalah untuk membangun masyarakat yang bukan saja dilengkapi dengan fasilitas fisik namun sangat perlu dibekali oleh kemampuan psikis. Kemampuan untuk lebih berpengetahuan, lebih bersikap dan lebih berperilaku.

Memasuki ruang pertemuan, pejabat lembaga dan pemda setempat disematkan kalung dan mahkota adat oleh kepala suku, ini juga sebagai simbolis penerimaan dan kepercayaan masyarakat akan lembaga dan instansi yang masuk dalam budaya mereka. Pace, mace juga anak-anak seakan tidak peduli berdiri diluar tenda dan menerima sinaran matahari yang mulai menyengat untuk mengikuti acara. Doa pembukaan, sambutan dari kedua pejabat, penandatanganan MoU, peletakkan batu pertama, penyerahan hadiah untuk pemenang lomba dalam perayaan HUT Hari Pahlawan dan Doa penutup adalah rangkaian acara siang itu. Dalam sambutan, pejabat pemda mengingatkan agar warga bersyukur kepada yang Maha Kuasa atas terpilihnya kampung mereka sebagai desa binaan lembaga, yang pada akhirnya harus dilanjutkan dengan partisipasi masyarakat secara penuh.

Hari itu Jumat 23 November 2007, di kampung Koya Koso, distrik Abepura Kota Jayapura sebuah komitmen telah diambil. Layaknya tarian Yosim Pancar yang ditampilkan oleh anak-anak pemenang lomba pada akhir acara, yang memadukan gerak tubuh yang gemulai, kekompakkan dalam irama tempo musik, dan kerjasama individu per individu demikian juga keseriusan Pemda dalam mengawasi, lembaga dalam memfasilitasi dan masyarakat dalam berpartispasi penuh serta kemitraan diantara ketiganya akan terlihat di akhir program. Kami berharap!

Tuesday, October 09, 2007

It’s a miracle!!!

24 Agustus, Ibu-ibu Desa Mekarjaya membentuk kelembagaan usaha kue kering. Keberadaan usaha kue kering ini sangat diharapkan dan dinanti-nantikan oleh ibu-ibu di tengah ketidakpastian dan kekurangan dalam hal pendapatan rumah tangga untuk membiayai kebutuhan sehari-hari. Maklum, para ibu harus berjuang sendiri menafkahi keseharian rumah tangga mereka karena para suami harus pergi merantau ke kota besar untuk mencari nafkah karena tidak adanya peluang di desa, namun uang yang kembali ke desa hanya sedikit, tidak cukup, bahkan tidak pasti.

Usaha kue Ibu-ibu berdiri, namun harus mulai dari nol. Ibu-ibu tidak punya pengalaman usaha, hanya berbekal sedikit kemampuan membuat kue kering yang didapat dari kursus kue yang pernah diadakan yang difasilitasi oleh Ibu Fatmah Bahalwan yang merupakan moderator millist para pembuat kue terbesar di Indonesia, Naturan Cooking Club, pada dua minggu sebelumnya (lihat: Another Trip to Mekarjaya). namun setidaknya ibu-ibu sudah punya dasar, bekal karena yang diajarkan oleh Bu Fatmah adalah standar dalam membuat kue yang baik, standar kue yang berbeda dengan kue pada umumnya di desa. Ada peningkatan standar produk kue yang dihasilkan.

Sehari sebelum usaha kue ibu-ibu dibentuk, ibu-ibu mengikuti lomba usaha kue kering untuk mengasah kemampuan membuat kue yang telah didapat dari workshop dua hari, sekaligus bersimulasi melakukan usaha kue. Ibu-ibu tidak hanya membuat kue, tapi juga mengelola uang modal, memilih dan membeli bahan, menentukan jenis kue yang dibuat (ibu-ibu tidak mentah-mentah menjiplak kue yang diajarkan pada workshop, tapi juga banyak melakukan kreasi), mengorganisasikan pembagian tugas antar anggota tim, sampai dengan menciptakan nilai tambah produk dan mempromosikannya.

Lembaga usaha kue ibu-ibu Mekarjaya sudah terbentuk. Uang-uang sisa lomba dikumpulkan untuk modal, tapi masih terlalu sedikit untuk menjadi modal. Ibu-ibu pun mengeluarkan uang dari kantong pribadinya untuk dikumpulkan menjadi modal. Tindakan ini patut diacungi jempol, karena ibu-ibu sudah sadar bahwa tidak akan ada hasil tanpa ada pengorbanan. Di tengah kekurangan dan harapan yang belum pasti saat itu, ibu-ibu berani mengambil keputusan dan risiko untuk mengeluarkan modal. Sungguh merupakan sikap wirausahawan yang didasari niat atau kemauan untuk mengubah keadaan.

Lembaga usaha sudah ada, selanjutnya adalah melangkah ke depan, menapaki jalan panjang dengan harapan jalan tersebut akan mengantar kepada keberhasilan. Di depan ada sedikit peluang yang jika dimanfaatkan, mudah-mudahan dapat membantu mencapai keberhasilan. Kesempatan itu adalah event Hari Ulang Tahun Kabupaten Kuningan pada seminggu ke depan, berarti usaha kue ibu-ibu hanya memiliki waktu seminggu untuk mempersiapkannya. Menggunakan sedikit modal yang sudah terkumpul, Produksi dilakukan, tanpa mengetahui dengan pasti apakah kue akan berhasil terjual.

Pameran berlangsung selama 11 hari. Hasilnya? Mengejutkan, sisa 70 toples! Hanya sedikit yang terjual. Bisa dibayangkan bagaimana perasaan ibu-ibu menghadapi kenyataan tersebut, putus asa, bingung, pesimis… ini merupakan kesempatan pertama, langkah pertama, tapi hasilnya bukannya membuat lebih semangat lagi tapi malahan membuat putus asa. Terus bagaimana? Tapi barang masih banyak, masih bisa dijual, jangan putus asa. Ini kondisi krisis, karena ibu-ibu sudah keluar uang yang tidak sedikit bagi mereka, uang yang digunakan untuk modal bukan dari kelebihan uang, tapi dari kekurangan uang yang dimiliki oleh ibu-ibu. Daripada menyerah, yang penting sekarang selamatkan dulu uang ibu-ibu, walaupun nanti uang yang kembali tidak 100%. Para pedagang dan distributor kue dikumpulkan, hitung-hitungan keuntungan tidak lagi dipedulikan. Dengan usaha yang keras kue sisa tersebut berhasil dihabiskan, hanya sisa sedikit untuk dijadikan contoh produk dalam menawarkan produk selanjutnya.

Prinsip hidup seorang binaragawan ternama, Ade Rai, yaitu “Tidak ada kerja keras yang tidak membuahkan hasil”, memperoleh pembuktian validitasnya oleh ibu-ibu. Melalui kerja keras memasarkan produk hasil sisa pameran kepada beberapa pedagang membuat para pedagang mengenal produk buatan ibu-ibu. Para pedagang tertarik, bahkan mereka tidak hanya mau membeli produk sisa tersebut, namun juga melakukan pemesanan untuk kebutuhan Hari Lebaran. Sampai dengan hari ini, tiga minggu setelah berakhirnya pameran, pesanan yang sudah dipenuhi sebanyak 640 toples kue kering, dan pesanan masih terus berlanjut. Dalam waktu sekejab, perasaan pesimis telah berubah menjadi optimis, bayangan kelam kegagalan dan kerugian telah berubah menjadi harapan cerah keberhasilan, pesanan berlimpah dan masa depan usaha ibu-ibu ada di depan mata. Isn’t it a miracle?

Monday, September 24, 2007

JAMBU MENTE + SEJUTA MIMPI

Kamis 20 September 2007 subuh, pukul 04.30 rombongan berangkat dari Maumere ke lokasi. desa itu berjarak ± 30km tepatnya desa Ilepadung, Flores Timur, NTT. Berbicara NTT ada rumor yang mngatakan kalau itu adalah singkatan yang bisa mengandung konotasi poitif dan negatif. Positif = Nanti Tuhan Tolong atau negatif = Nasib Tempat Tertinggal. Setelah menanjak melewati gunung diselingi pipa air, mobil kami disengat oleh bau jambu mente (Anacardium occidentale) yang siap panen. Ya, menurut kalender musiman, bulan September sampai Oktober adalah masa panen raya. Artinya, mete yang sudah jatuh dipunggut, dibersihkan atau dipisahkan dari jambu/buah semunya (cashew), lalu kembali dibersihkan. Sebelumnya nanti di gradasi menurut ukuran dan bentuknya.

Menuju lokasi, jalanan aspal sudah berhenti. Mulai berlubang, ditambah dengan debu yang tebal. Namun, semua itu seakan bukan halangan, ketika pandangan kami terarah pada pemandangan pesisir pantai yang menghampar luas serta merasakan angin laut yang sejuk hari itu. Ditambah latar belakang bukit-bukit yang menggunung. Memasuki dusun I dari IV dusun yang ada, terlihat Puskesmas Pembantu berwarna biru muda yang sedang disempurnakan, setelah itu terdapat Kantor Kepala Desa yang bersebelahan dengan ruang pertemuan dan lapak terbuka untuk kegiatan pasar tiap Selasa.

Pukul 08.45 kami tiba di rumah ketua ketua kelompok tani dan perwakilan dari lsm yang mendampingi petani mente. Peran lsm ini bisa cukup berhasil, karena langsung menyetuh hal-hal yang sifatnya teknis dan praktis. Banyak kendala yang dia paparkan selama waktu berjalan. Mulai dari mengajarkan cara pencatatan administrasi kepada petani sampai dengan naik turun bukit untuk melihat langsung kondisi yang ideal bagi tanaman mente. Dedikasi, komitmen dan konsistensi kepada masyarakat terlihat lebih besar daripada sekedar pengabdian ke lembaga.

Beberapa peningkatan yang kami lihat khsusunya di dalam budidaya mente yang selama ini dikembangkan Pertama, petani sudah mempunyai wawasan yang lebih luas akan budidaya mente yang selama ini telah dikembangkan. Contoh: pemelihraan kambing di areal sekita jambu mente ternyata dapat memberikan nilai tambah bagi perkembangan jambu mente khsusnya dalam masa vegetatif. Karena antara kambing dan pohoh jambu mente terjadi simbiosis mutualisme. Kambing membantu pertumbuhan dengan memberikan pupuk alami bagi pohon dan pohon pun memberikan buah semu untuk makanan si kambing. Kedua, produk mente yang dihasilkan oleh masyarakat sudah ada pasar yang menanti, baik dalam skala nasional atau internasional. Baru-baru ini sekita 40 ton mente dalam bentuk gelondong sudah menembus pasar Amerika. Ketiga, petani mente sudah mempunyai sistem kerja yang mandiri. Mereka sudah mengerti bagaimana melaporkan hasil penjualan mente, berapa keuntungan yang akan diperoleh, sampai dengan mempertimbangkan proses penerimaan anggota baru dalam kelompok tani mente.

Selanjutnya kami singgah di rumah mantan kepala desa. Mantan kepala ini adalah calon kuat pada pemilihan kepala desa sebelumnya namun ia tidak terpilih lagi. Paras muka yang kolot, sorot mata tajam dan punya wibawa menjadi ciri khasnya. Ia tetap aktif menjadi panutan masyarakat. Bahkan perannya sangat total dalam mendukung pembangunan fisik.

Dalam diskusi tersebut, hadir pula PPL (Petugas Penyuluh Lapang) Pertanian. Ia menjelaskan ada alternatif kegiatan ekonomi yang dapat dilakukan untuk menambah pendapatan, yaitu budidaya rumput laut (seaweed) . Secara matematis, pendapatan antara rumput laut dan jambu mente, jauh berbeda. Dari rumput laut, petani bisa mendapatkan 2x lebih besar dari jambu mente. Itu pun hanya dalam waktu 1,5 bulan tidak seperti mente 12 bulan sekali. Namun secara psikologis, tidaklah mudah mengubah kebiasaan masyarakat dari budidaya di ladang pindah ke laut. Sebagai contoh, mereka rela mengeluarkan uang belanja nya untuk beli ikan di Larantuka, sekitar 12km lagi dari desa daripada mengusahakan sendiri dari laut yang sudah ada di depan mata. Tak aneh, masyarakat desa Ilepadung, disebut orang pesisir yang punya mental orang gunung.

Moke atau minuman tradisional yang diambil dariu pucuk bunga pohon lontar (Nira) yang banyak tumbuh di desa itu. Secara pendapatan, komoditas ini adalah salah satu andalan mereka untuk menambah pendapatan RT. Tidak hanya untuk minuman, tuak dari pohon lontar juga dapat dimanfaatkan bagi gula merah atau anyaman. Bisa dijual atau dikonsumsi sendiri.

Pembangunan fisik sejak bulan Juli 2007 lalu, hampir selesai. Berbagai bangunan siap diresmikan untuk mendukung aspek-aspek kehidupan dalam progam BSR. Yang masih ada disempurnakan atau dirapihkan dan yang belum tersedia juga dibangun guna mendukung roda kehidupan tadi. Ada sekolah, puskesmas, sarana produksi mente dan gapura. Awal November ditargetkan semua sudah done.

Budaya atau adat sangat kuat dalam masyrakat ini. Mereka dilarang keras melakukan segala bentuk aktifitas selama 4 hari ketika salah satu anggota masyarakat meninggal dunia atau ketika menyambut musim panen dilangsungkan upacara khusus. Ini dapat menjadi kendala, ketika program yang dilterapkan tidak mengandung unsur budaya setempat, namun harus disiasati dan dipikirkan bagaimana menggabungkan budaya mereka dengan program yang ada.

Masih banyak mimpi yang dapat berlanjut dan berkembang, baik sumber bumi atau sumber manusia, namun yang yang diperlukan adalah aksi !

Wednesday, September 12, 2007

LANGKAH AWAL UNTUK PENDIDIKAN

Dari ke empat aspek yang disentuh, program Rumah Kreatif (RK) ingin menjawab kebutuhan pendidikan. Disadari bahwa pendidikan adalah modal dan langkah besar untuk memajukan suatu bangsa atau komunitas dalam skala yang lebih besar. Dengan majunya pendidikan otomatis akan membangkitkan roda perekonomian, kesadaran akan lingkungan dan kemauan untuk berbuat sosial. pendidikan memang masih di anak tirikan oleh bangsa ini, buktinya dapat terlihat dari anggaran pendidikan yang masih jauh dibawah standar UUD 1945.

Konsep RK yang diusung adalah: bagaimana bisa memberikan pendidikan yang konkrit kepada anak khususnya dan warga sekitar umumnya, tanpa memandang usia, tingkat pendidikan, status, atau golongan sehingga setiap anak memperolah kesempatan yang sama untuk mengecap pendidikan.

Maka, 7 September 2007 lalu sekitar pukul tiga petang di balai desa Cipelang, kecamatan Cijeruk, Bogor, ditandatanganilah MoU atau nota kesepahaman antara Lembaga dan Yayasan yang ditunjuk serta Pemda Cipelang. Tujuannya adalah bentuk komitmen resmi agar program yang dijalankan nanti jelas. Masyrakat pun ikut memeriahkan seremoni ini dengan 10 buah tumpeng kreasi mereka dilengkapi jajanan kampung ala desa Cipelang. Tumpeng pertama diberikan oleh pimpinan kepada kepala desa, sebagai tanda kepecayaan lembaga kepada wakil masyarakat untuk turut medukung program.

Rombongan pun menuju lokasi pembangunan RK. Berjarak hanya 100meter dari balai. Jajaran anak-anak SD itu menyambut rombongan. Ya, mereka adalah murid SDN 02 Cipelang. Sekolah itu tepat bersebelahan dengan lokasi pembangunan RK. Kondisi lahan yang berkontur.Pimpinan segera meresmikan RK dengan meletakkan batu pertama sebagai fondasi bangunan dan penanaman tanaman perdu oleh masyarakat setempat sebagai simbol komitmen masing-masing pihak.

Sebuah babak telah dimulai, dan bukan menjadi patokan ketika ingin mencapai hasil yang diinginkan. Tetapi bagaimana proses pembelajaran masyarakat itu dapat terus bergerak dinamis dan berkesinambungan. Angin sejuk dan udara yang agak mendung bak harap dan haru akan komitmen lembaga ini untuk terus berkarya dan berbakti bagi kemajuan manusia Indonesia.
.

Labels: , ,

Tuesday, September 11, 2007

PEDOMAN MERENCANAKAN PROGRAM DESA KITA

Sesuai dengan namanya, strategic philanthropy selayaknya bersifat strategis. oleh karena itu pengembangan yang dilakukan baik fisik maupun non fisik harus berangkat dari tujuan besarnya dahulu, yaitu misi, baru kemudian turun menjadi sasaran, sub sasaran dan strategi kegiatan. Dengan demikian beberapa kegiatan yang kita rencanakan akan mengarah pada satu tujuan besar dan tidak saling terpisah. Keberhasilan dari masing-masing kegiatan tersebut selayaknya menyokong keberhasilan pencapaian visi dan misi. Uraian berikut menjelaskan hal tersebut serta beberapa contohnya.

A. Misi dan Sasaran Program Desa Kita

Misi:
“Mewujudkan masyarakat yang produktif dan mampu mengembangkan dirinya sendiri baik secara fisik (finansial/ekonomi, kesehatan, pendidikan dan lingkugann) maupun secara psikis (pengetahuan, sikap dan perilaku)

Sasaran:
Adalah tujuan yang dapat diukur pencapaiannya. Contoh:
Peningkatan Indeks Pembangunan Manusia (IPM)
Kemandirian dan Sustainability desa.

B. Penjabaran IPM

Indeks Pembangunan Manusia (IPM) diadopsi dari Human Development Index (HDI) yang merupakan standar yang dipakai oleh semua negara di dunia untuk mengukur derajat pertumbuhan suatu negara, apakah termasuk negara maju, berkembang, atau tertinggal. IPM mengukur:
Panjang usia dan kesehatan, diukur dengan angka harapan hidup pada kelahiran.
Pengetahuan, diukur dengan tingkat melek huruf orang dewasa (dengan bobot 2/3) dan tingkat pendaftaran pada pendidikan dasar, menengah dan tinggi (dengan bobot 1/3)
Kelayakan standar hidup, diukur dengan GDP per kapita dan paritas (keseimbangan) daya beli.

C. Penjabaran Kemandirian dan Sustainability

Disadari bahwa pengukuran IPM masih merupakan pengukuran yang masih bersifat kasar dan memiliki keterbatasan dalam mengukur standar kelayakan hidup manusia. Pengukuran IPM belum memasukkan modal yang dibutuhkan oleh masyarakat untuk dapat mengembangkan dirinya. Sedangkan salah satu nilai yang ditekankan dalam Program Desa Kita adalah kemampuan masyarakat desa binaan untuk terus mengembangkan dirinya sendiri setelah program Desa Kita dinyatakan selesai di desa tersebut. Untuk itu dibutuhkan pengukuran terhadap kemampuan sustainability dan kontinuitas pengembangan secara mandiri dari desa.

Beberapa kondisi yang ingin dicapai berkaitan dengan kemandirian dan sustainability antara lain:
1. Desa memiliki kompetensi inti dan produk/komdoitas unggulan yang dikembangkan
2. Adanya kelembagaan dan operasionalisasi usaha desa yang melibatkan keseluruhan warga masyarakat desa.
3. Desa memiliki sistem pengembangan produk, terdiri dari kemampuan untuk melakukan survei pasar secara seerhana atau sistem umpan balik pasar tehradap produk.
4. Profitabilitas usaha desa.
5. Pengembangan permodalam usaha.
6. Tersedianya sumer daya manusia yang memiliki kapasitas yang cukup untuk mengembangakn perekonomian desa, baik untuk kebutuhan SDM saat ini maupun ayng selanjutnya. Oleh karena itu diperlukan pengembangan sumbe rdaya manusia bagi semua lapisan masyarakat desa, baik yang berada pada usaia produktif maupun yang masih anak-anak dalam bentuk optimalisasi pendidikan.
7. Terciptanya budaya saling berbagi informasi dan pengetahuan antar warga desa dalam bentuk Community of Practice (CoP) guna pengembangan terhadap pengetahuan secara kolektif yang dapat menyempurnakan manfaat dan nilai dari produk serta cara/sistem secara kontinu. CoP ditunjang/difasilitasi dengan organisasi/kelembagaan, praktek dari pengetahuan seperti misalnya usaha, dan teknologi dan alat penunjang penyimpanan dan penyebaran informasi dan pengetahuan.

D. Penetapan Sub-Sasaran

Sasaran di atas diturunkan menjadi sasaran yang lebih konkrit, lebih dapat terukur, lebih bersifat teknis dan operasional. Contoh penurunan sasaran menjadi sub sasaran:

SASARAN: Desa Memiliki Kompetensi Inti dan Produk/Komoditas unggulan yang dikembangkan
SUB SASARAN:
a. Usaha Desa Memiliki Sistem Produksi yang Efektif dan Efisien.
b. Terdapat struktur eksternal antara usaha desa dengan pasar dan pemasok

SASARAN: Adanya kelembagaan dan operasionaliasi usaha desa (internal process)
SUB SASARAN:
c. Memiliki kelembagaan atau asosiasi usaha yang saling mendukung dalam mengembangkan usaha yang memiliki kompetensi berkembang.

SASARAN: Desa memiliki sistem pengembangan produk
SUB SASARAN:
d. Terdapat aktivitas penelitian dan pengembangan
e. Terdapat aktivitas komunikasi yang baik dengan supplier dan konsumen dalam rangka pengembangan produk

SASARAN:
Profitabilitas usaha desa
SUB-SASARAN:
f. Tingkat keuntungan yang memadai
g. Peningkatan nilai tambah dari produk saat ini

SASARAN: Akses permodalan usaha
SUB-SASARAN:
h. Terdapat Institusi penyedia kebutuhan modal yang tidak memberatkan pengusaha

SASARAN: Kompetensi Sumber Daya Manusia
SUB-SASARAN:
i. SDM memiliki pengetahuan dan kompetensi untuk menghasilkan produk yang unggul

SASARAN: Budaya saling berbagi informasi dan pengetahuan untuk pengembangan produk bersama
SUB-SASARAN:
j. Terdapat budaya berbagi pengetahuan
k. Terdapat kelembagaan Community of Practice (CoP) antar pelaku usaha desa.


E. Strategi pencapaian

Setelah menetapkan sub-sasaran yang konkrit, selanjutnya adalah merumuskan strategi berupa aktivitas-aktivitas yang dapat digunakan untuk mencapai sasaran yang ditargetkan. Strategi atau rencana aksi yang disusun berangkat dari kondisi aktual, kemudian dibandingkan dengan sub-sasaran tersebut baru kemudian direncanakan tindakan intervensi guna menjembatani gap antara kondisi aktual dengan sub sasaran yang ingin dicapai. Contoh, kondisi aktual di desa sudah memiliki komoditas unggulan, tetapi belum memiliki daya saing yang tinggi dan belum terdapat hubungan dengan pasar. Dengan demikian strategi yang direncanakan berupa aktivitas untuk menjembatani antara kondisi aktual dengan sub sasaran yang diinginkan, misalnya: melakukan pelatihan desain produk, meningkatkan kualitas produk.

Friday, September 07, 2007

RUMAH KREATIF

Murid-murid berseragam putih merah lengkap dengan dasi berjajar berbaris di sisi kiri dan kanan jalan masuk ke sekolah. Wajah-wajah kelelahan karena seharian berjemur di panas matahari menanti upacara yang sebenarnya ya hanya sebuah upacara. Tawa yang menggelitik tersumbat di kerongkongan yang memang sudah gatal dari awalnya. Bayangkan saja, kuncir yang sudah melesat tak jelas, rambut yang basah karena peluh, dasi yang melingkar tak beraturan di leher, serta lendir hidung yang naik turun tergambar wajah-wajah anak-anak tak berdosa di sekolah SD Cipelang. Kadang hampir tidak masuk akal sehat, kenapa di tengah terik matahari yang membakar sangar, masih saja anak-anak diwajibkan ke sekolah dengan mengenakan lengan panjang, celana panjang serta berdasi pula. Keanehan memang bagian dari khazanah bangsa kita. Kalau bukan aneh, ya bukan kita. Tapi laiknya hidup dalam sebuah masyarakat, tidak bisa tidak, nilai-nilai yang sudah terbangun bersama onggokan sejarah harus dipatuhi. Itulah hakekat hidup bermasayarakat.
Hari ini, tanggal 7 September 2007, mungkin bisa menjadi hari yang berarti bagi mereka dan bagi lembaga tempat kami mencari nafkah. Rencana rumah kreatif yang sudah lama dibahas dan bolak balik dibahas, sampai hampir hangus kedua sisinya, akhirnya diresmikan. Diresmikan dalam sebuah upacara peletakan batu pertama, penanaman pohon, dan penandatanganan MOU triparti antara pemda, yayasan dan lembaga.
Menurut rencana tanah pemberian desa yang luasnya sangat luas, akan didirikan bangunan persegi banyak dengan pusat kekuatan yang bermuara di tengah lingkaran. I love this style (as if it's mine). Bangunan ini benar-benar mencerminkan spirit yang ingin diciptakan dalam program rumah kreatif, penyatuan energi semua yang hadir di dalam rumah tersebut menjadi satu kekuatan. Sekarang tinggal bagaimana mengupayakan kehadiran mereka yang dapat memetik manfaat dari rumah kreatif.
Menghadap ke gunung salak menghampar bangunan seluas 600 M2 berbentuk persegi banyak tempat bernaung anak-anak, baik yang masih sempat berdasi, maupun mereka yang hanya menggunakan tali sayur untuk mengikat celananya, baik yang berlengan panjang, maupun yang berlelehan lendir hidungnya.

Labels: ,

Thursday, September 06, 2007

VALENTINE, CITARASA, BOGARASA ATAU SINAR MEKAR?

Lembaga usaha kue kering disambut hangat oleh mereka. Kami hanya memfasilitasinya dengan penjelasan secara umum sebuah cikal bakal lembaga komersial, mulai dari divisi perencanaan sampai pemasaran serta penjelasan tugas-tugas pokok masing-masing divisi. Nah selanjutnya mereka sendiri yang berjalan. Terlihat ada kemandirian dengan penunjukkan ketua secara langsung dan demokratis juga anggota yang menangani masing-masing divisi itu. Memang, mereka agak canggung dan malu bahkan sempat menolak ketika namanya dicalonkan tapi semangat dan motivasi yang tinggi untuk maju dari keadaan mereka sebelumnya maka semunya itu luntur. Alhasil, terbentuklah lembaga usaha kue kering yang sederhana tapi punya target yang jelas. Sang ketua langsung menetapkan pertemuan selanjutnya agar dapat dibicarakan, jenis kue apa yang mereka akan produksi, branding, packing sampai harga yang akan dijual. Diskusi ini cukup berjalan agak panjang karena setiap ibu-ibu punya opini masing-masing, mereka harus menentukan nama apa yang cocok dari pilihan “Valentine”, “Citarasa”, “Bogarasa” atau “Sinar Mekar”. Atau harga yang bervariasi mulai dari 11.900 – 19.000 rupiah. Mereka juga sepakat, keuntungan yang sudah ada dari penjualan kue kering hasil lomba kepada ibu-ibu Pipebi dapat menjadi modal bersama untuk memulai. Bahkan lebih dari itu, mereka juga punya komitmen bersama untuk memberikan kontribusi masing-masing 20ribu/orang sebagai tambahan modal.
Menurut Etienne Wengger dalam buku Cultivating Communities of Practice tahun 2002, dari ketujuh prinsip dalam Communities of Practices, apa yang sudah dilakukan oleh ibu-ibu Mekarjaya, sudah memasuki tahap ketiga. Dimana setiap peserta telah menggambil partisipasi dan komitmen mereka dalam melaksanakan tugas dan tanggungjawabnya. Ketika diwawancarai ibu ketua lembaga mengaku bahwa kelompok usaha yang sudah terbentuk bukan saja profit oriented tapi juga dapat menyatukan social oreinted atau terjadi ikatan emosional antar ibu-ibu, dia percaya bahwa faktor inilah yang dapat menentukan keberlangsungan lembaga ini. Disamping itu anggota lainnya juga menyampaikan bahwa produk mereka bukan saja harus diminati di tingkat Mekarjaya, kecamatan Cimahi, kabupaten Cirebon atau Propinsi Jawa Barat bahkan harus sampai bisa menembus pasar global. Suatu mimpi yang tidak mungkin tidak terjadi. Maju terus ibu-ibu!

Labels: ,