Wednesday, July 05, 2006

A STITCH IN TIME SAVES NINE

Konsep Desa Binaan seperti sebuah déjà vu program. Muncul dipermukaan secara tiba-tiba tanpa pernah dipikirkan atau direncanakan terlebih dahulu tapi kok rasanya familiar. Konsepnya juga pada awalnya sederhana,yaitu menyatukan program bantuan ke desa yang tertinggal. Kalau pada awalnya kita membantu berbagai pihak secara parsial dan sifatnya sekali tembak. Kali ini terpikir untuk melakukan secara terpadu dan dapat membawa perubahan terhadap kehidupan di desa.
Kedengarannya mulia dan sederhana namun ketika pemikiran tersebut ingin dituangkan ke dalam sebuah konsep nyata, permasalahan dan bayangan kegagalan mulai menghantui. Tidak sedikit cerita kegagalan yang tertoreh sepanjang sejarah. Beberapa yang terekam di benak adalah : pembangunan yang bertumpu pada ekonomi saja akan memicu masalah sosial yang tidak sedikit. Lalu, perubahan yang mengabaikan aspek sosial budaya memiliki kecenderungan gagal karena tidak mendapatkan dukungan. Perubahan yang tidak didefinisikan sesuai dengan keinginan dan kebutuhan desa hanya akan melahirkan konsep-konsep kosong karena, lagi-lagi tidak mendapat dukungan. Memang perubahan bukan hal yang gampang. Belum lagi upaya melakukan perubahan perilaku selama ini lebih sering gagal ketimbang berhasil. Nakut-nakutin banget!!!
However, the show must go on! Untung ada Cak Nun yang berbicara tentang bekerja dan bekerja, karena itu kewajiban manusia, sukses itu akan mengekor setelah bekerja. Mirip seperti Andre Wongso:”Success is my right!”. Yah....kerja aja, implementasi, ketimbang berlama-lama di konsep dan dihantui bayangan kegagalan. A stitch in time saves nine.
Sebagai konsep yang munculnya kagetan, sudah dapat dipastikan pasti akan banyak kritikan yang timbul. Sudah siap kok. Kritikan pertama mengarah pada nama. Desa Binaan, kok, kesannya superior banget sih! Untuk kali ini kita harus melupakan Shakespeare "What's in a name? That which we call a rose, by any other word would smell as sweet." Konstruktivisme bisa mengobah 'mawar' menjadi 'kembang kertas' atau 'harum mawar' menjadi 'bau kematian'. Semua bergantung pada mental model yang mempersepsikan mawar itu sendiri. Jadi nama desa binaan bisa saja menebarkan harumnya 'mawar' atau harumnya 'kematian'. Berhubung dalam kasus desa binaan, wangi mawar dicium sebagai bau kematian maka nama perlu diobah, jadi..... ???
Dari nama merambah pasti ke konsepnya, proyek ini seharusnya pemberdayaan, bukan pembinaan. Duh.. tambah berat aja, memberdayakan orang yang merasa dirinya tak berdaya adalah pekerjaan yang cukup rumit dan kusut. Anyway... paling tidak kita sudah mencatat bahwa tidak boleh tidak, program ini harus diawali dengan motivasi. Potensi yang sudah sekian lama terkubur di dalam liang kemiskinan, harus digali.
Kembali ke soal nama, desa binaan..., nama apa ya yang tepat?? Dalam sejumlah forum...ada berbagai nama yang terlontar, tapi kok hati belum sreg. Konsep kaget memang harus kagetan juga kali ya....dan ”eureka”, nama pengganti yang dicari-cari akhirnya ketemu juga.... ”Desa Kita”. Masalah mereka khan masalah kita juga, bukan?

Labels: , ,

0 Comments:

Post a Comment

Subscribe to Post Comments [Atom]

<< Home