Wednesday, June 20, 2007

GAPURA HARAPAN

Tidak ada yang perlu dipersalahkan bila nestapa menimpa. Tidak ada yang perlu dituding ketika duka menggoret luka. Kata sabar tidak cukup. Iming-iming uang bukan solusi. Berdiam dan merenung sejenak untuk menggeliat bangkit. Mungkin hanya itu ucap yang terlontar. Tidak lebih karena memang tidak ada lagi yang bisa dilakukan di luar itu.
Bencana gempa yang menimpa Yogya beberapa waktu yang lalu menyisakan duka yang cukup dalam. Tapi niat untuk bangkit dari keterpurukan mengakar kuat, seperti halnya di dusun Manding, desa Bantul. Nuansa kebangkitan sudah mulai terasa. Perekonomian yang mengandalkan kulit dan serat alami sudah mulai menggeliat. Toko-toko kecil sepanjang jalan masuk desa berbaris menyambut kehadiran pengunjung.
Permasalahan yang ada di desa Manding, bukan hanya permasalahan gempa. Tapi jauh sebelum gempa itu sendiri hadir, ada "gempa" yang lebih besar yang sudah berdiam cukup lama bersama mereka. Gempa besar itu dinamakan inovasi. Tuntutan akan adanya inovasi mendesak hebat, namun inovasi itu sendiri bukan seorang bujang lapuk yang walaupun sudah termakan usia masih saja kesepian dalam kesendirian. Inovasi cenderung poligamis dan memerlukan paling tidak 2 istri pendamping, yaitu kreativitas dan pengetahuan. Anak dari hasil poligami luar biasa banyaknya, misalnya kompetensi inti, pengetahuan tentang pasar, branding dsb..dsbnya. Yang semacam ini memang layak untuk berjodoh dengan program Desa Kita yang berniat untuk mengembangkan Desa Pengetahuan.
Dusun Manding ingin sekali dikenal sebagai Desa Kulit. Oleh karenanya Desa Kita beraksi dan dengan segera menciptakan brand dari Dusun Manding melalui pembangunan gapura yang menjadi saksi bisu proklamasi Dusun Manding sebagai Pusat Kerajinan Kulit di Yogya. Memang hanya sebuah benda mati yang disebut gapura. Tapi ada banyak harapan dan tuntutan yang tersimpan di baliknya. Harapan akan menemukan produk yang dapat menjawab kebutuhan produk kulit dari sebuah desa yang menamakan dirinya Desa Kulit.

Labels: , ,

Monday, June 18, 2007

THE HEAVEN BEHIND THE CLOUD OF DUST

The temperature is hot and dry. Dust flew into the air as we travelled through the path. It's a totally different world. It's like entering the world of enigma where silence and tranqulity are another names for mysteries. Once in a while, we saw traditional houses and the local people sat in front of their porch. We must have been some among the few strangers that enter this area. Their eyes were fixed on us as they followed us with their head until we vanished into the cloud of dust.
Upon entering the gateway of Desa Tanjung Bunga, Ilepadung, we felt a complete change. The green Cashew trees were standing neatly in rows. From a distance they look like a velvety carpet that directs us to a palace. The crystal clear blue water greeted us with jolted joy and shiny splashy look. A sense of relief occupied our mind. It had been a-6-hour-journey from Maumere to Ilepadung, travelling through the winding and dusty roads.
We stopped at the center and were greeted with a warm welcome by the Kepala Desa. He explained the processing of cashews. The entire backyard of the building was occupied with raw cashew nuts. They were drying them up on the cemented area and depended heavily on the sun. Once the cashew shells are dried enough to be processed further, they will be taken to another area. This area are dominated by males, they are in charge of cracking the hard shell. The interior of the shells contains a caustic resin, known as cashew balm, which must be carefully removed before they are fit for consumption. They use the traditional Kacip to crack the shells and take the nuts with the soft skin. The room where they work look more like a dungeon, it is dark and somber.
Girls, children and female were wearing bandana sitting in a clean room with proper ventilation and lights. They worked and smiled shyly as we posed some questions. To one of the girls I asked her being there instead of at school. She said, I have finished my elementary levels and have decided to work. In this area they clean the soft skin of dried cashews and packed them. The cashews were ready to be exported.
Ilepadung has a great potential to produce organic cashews. However, poverty drives them away from efforts to develop themselves economically. Those raw cashews are sometimes sold cheaply because they are in need of cash. According to an international institution who has been assisting them with cashew farming, the traditional people sometimes ignore their commitment to the international buyers simply because they are in need of cash.
They have the resources, both human and natural resources. They also receive assistants from international organization in terms of cashew production. What they need now is an integrated assistance to bail them out of poverty. Here we come.... another Desa Kita.

Labels: , ,

DI SANA ADA BINTANG

Mencari desa yang tepat untuk proram Desa Kita bukan pekerjaan mudah. Dari 3 wilayah yang diusulkan salah satu di antaranya adalah sebuah desa di Pulau Bintan, Kepulauan Riau yang memiliki keunggulan budi daya Ikan Kerapu. Dari hasil penjajagan awal yang bermuara pada informasi sekunder, diperoleh masukan bahwa desa tersebut memang layak untuk dijadikan Desa Kita.
Perjalanan awal menghadirkan tim penjelajah Desa Kita di Batam. Pemahaman dan sense of ownership dari kantor cabang menjadi target awal dari sosialisasi. Pada akhirnya Kantor Cabang yang akan melakukan operasionalisasi harian dari implementasi Desa Kita. Target berikutnya adalah melakukan base line survey ke lokasi. Jadi perjalanan diarahkan ke lokasi pada keesokan harinya.
Dari kota Batam, ditempuh perjalanan 1 jam menuju ke pelabuhan, melalui jembatan Jembatan Tengku Fisabilillah yang arsitekturnya mengadopsi konsep Golden Bridge di San Fransisco, Amerika. Nama populer dari jembatan ini adalah Barelang (Batam, Rempang dan Galang) yang membentang sepanjang 642, menghubungkan pulau Batam dan pulau Tonton.
Hari masih pagi ketika tim tiba di sarana transportasi antar pulau. Perjalanan laut membutuhkan waktu tempuh selama 40 menit. Untungnya, udara cukup baik, sehingga kekhawatiran hujan yang akan menimbulkan ombak menjadi tidak valid. Dari perjalanan pergi dan kembali tertangkap gambaran pegawai yang commuting. Transportasi laut adalah sarana utama, sehingga bisa saja terbersit untuk menerapkan konsep bus way untuk sarana transportasi laut (hehehe...permasalahan di kota dibagi ke laut).
Setibanya di pulau Bintan yang ibukotanya Tanjung Pinang, perjalanan direncanakan untuk terus berlanjut ke tempat tujuan. Perjalanan ini membutuhkan waktu kurang lebih satu jam dengan menggunakan mobil pribadi. Dalam perjalanan tertangkap kisah penjualan pasir ke Singapura yang menyisakan kubangan-kubangan besar dan dalam menyerupai danau. Penjualan tersebut konon kabarnya terjadi dalam skala yang cukup besar. Bahkan pulau Nipah sudah hampir tenggelam. Singapura menggunakan pasir tersebut untuk program reklamasi pantai yang sudah dicanangkan semenjak tahun 1976. Luas wilayah daratan negara kecil Singapura itu semakin bertambah. Semula hanya sekitar 581 km2, pada tahun 1991 telah berubah menjadi sekitar 646 km2. Sejumlah pihak malah mendata bahwa luas daratan Singapura pada 2001 sudah membengkak sekitar 760 km2. Sedangkan batas wilayah Indonesia dengan Singapura belum tuntas hingga detik ini.
Dalam perjalanan Pulau Bintan terkesan kering dan gersang. Ada sejumlah tanah yang cukup luas dan subur yang digunakan untuk pertanian. Hasilnya berupa sayur- sayuran di ekspor ke Singapura. Namun sangat disayangkan potensi tersebut tidak memiliki kepastian karena status tanah dimiliki oleh orang kaya yang tinggal di Jakarta. Di pulau Bintan ini terdapat Bintan Resort yang sayangnya dalam kesempatan ini tidak menjadi tujuan dari kunjungan tim. Di kalangan pejabat beredar pembicaraan kalau belum pernah main golf di pulau Bintan maka belum lengkap untuk menyandang predikat golfer.
Mendekati target tujuan, tim dibingungkan dengan transportasi menuju pulau. Sarana transportasi yang ada hanyalah kapal tongkang dan perjalanan membutuhkan waktu sekitar 40 menit. Di daerah penyeberangan, hanya ada 1 restoran dan 1 rumah penduduk. Rumah penduduk berikutnya berjarak beberapa kilometer dari tempat ini, dan jumlahnya pun tidak banyak. Sulit membayangkan pengembangan Desa Kita di wilayah ini. Entah bagaimana cara transportasi sarana fisik yang dibutuhkan dan juga cara pemantauan program Desa Kita. Terlebih lagi, sangat sedikit penduduk yang bermukim di pulau tujuan tersebut. Biaya tampaknya akan tinggi dan nilai manfaatnya akan sangat kecil.
Dari restoran yang ada diperoleh informasi bahwa pengunjung restoran hanya ada pada akhir pekan. Jumlahnya tidak banyak. Namun karena restoran di kelola oleh keluarga dan menu yang ditawarkan berasal dari laut, maka keberlangsungan restoran tersebut tetap terjaga. Dari penduduk diperoleh informasi bahwa ikan sudah mendekati kepunahan karena pencemaran yang ditimbulkan oleh penggalian bauksit. Penggalian yang dilakukan tanpa adanya tindak restorasi lingkungan mengakibatkan kerusakan pada lingkungan sekitarnya. Bila hujan tiba, erosi tanah bersama sisa-sisa bauksit terbawa ke laut. Demikian pula ketika bauksit di transportasikan dengan menggunakan kapal, serpihan yang jatuh mencemari laut dan meracuni mahluk laut. Kebetulan pada sore hari akan ada penjadwalan dari Pemda untuk memonitor keluhan penduduk. Sayangnya kita tidak bisa menunggu sampai sore hari.
Perjalanan hari itu menghadirkan beberapa kesimpulan yang membuat usulan implementasi Desa Kita di daerah tersebut menjadi tidak mungkin alias gagal untuk dilaksanakan. Beberapa alasan utama adalah kompetensi inti yaitu hasil budi daya laut yang terancam bahaya pencemaran. Peluang untuk mengalihkan ke pertanian terhambat karena alasan kepemilikan tanah walaupun di lain sisi potensi ekspor ke Singapura menunjukkan hasil positif. Faktor penghambat lainnya adalah transportasi, pembangunan fisik dan pemantauan program akan membutuhkan biaya yang tidak sedikit.
Suasana malam di Tanjung Pinang masih tersisa dari jendela kamar di hotel. Langit yang cerah bertaburan bintang mengintip di balik tirai. Ada banyak harapan yang menggelantung disana. Harapan yang tidak dapat dijawab dengan program Desa Kita.

Labels: , , , ,

Saturday, June 16, 2007

THE COLORS OF PAPUA

What had been the image of Papua in my cognition? Black and white, until last month when I had a chance to visit Papua. Papua is now a vibrant and multi-colored place for me. A place where beauty lies in abudance and yet a vivid picture of irony.
I landed in Sentani airport after 6 hours flying. The airport is just another typical major airports in Indonesia, small and not well managed. The plane landed and all the passengers had to walk to the main entrance of the airport. The view was heavenly green. I only had one line to say:"I love this place" and I believe that explains everything. .
Another Desa Kita in Papua. Our branch office had given us a short list of three. The trip was aimed at capturing the baseline survey. I had missed the other two surveys but still had one to follow. The one that we went to was Koya. It lies near the sea at the border of Papua and PNG. We were welcome warm heartedly by the formal and informal leaders of the village. We sat in a circle by the sea in a traditional meeting place.
It's not really easy to deal with the indigenous nor is it hard. It's just a matter of being sensitive to the local culture. Menginang is one traditional way of dealing with the indigenous. Tracing it back to the year of 1930, menginang was considered as an ethical way in developing relationship in Papua. In every cultural gatherings, meetings, menginang is considered a must. Menginang is a symbol of equality. No issues will be discussed in any gatherings and meetings unless buah pinang, batang sirih and kapur are served on the table.
On our way to Koya, the driver stopped on the curb of the street and bought "Buka Kontak" in a black plastic bag. I saw the black plastic bag and a glue pot in the middle of the circle. Everybody in the circle took buah pinang from the plastic bag and dipped batang sirih in the glue pot which contained kapur. They chewed them together until their mouth got burned and their saliva turned red. They spit the saliva to the ground or anywhere around. It is common to see the walls with red spots. Red is another color of papua. The discussion went smooth. I saw the light of hopes in their eyes, but we managed to make them understand that this was just a base line survey.
On the way home from Koya, we held a discussion and decided that we were going to promote the previous village as another Desa Kita. There other village is equipped with one good school and acres of fertile land. Two families from outside Papua came there to grow cocoa and enjoyed a well to do life. Koya might be in a less fortunate condition compared to this village. However, this village has more potentials compared to Koya. Developing Desa Kita is a project that speaks with the heart but it also requires us to be rational. We have to work hand in hand with the local people. So there should be an asset that we can start with. It takes two to tango.
Prior to going back to Jakarta, I had a chance to go to the Baliem Valley in Wamena. This is the richest and the most beautiful area in Papua yet this is the less developed part of Papua. It took one hour to fly from the city to the Valley. Upon my arrival at the small airport in Wamena I was greeted by the local people in his local traditional wear.
The view in Baliem Valley was incredible. The richness of the culture is astounding. I went to Kurulu and visit the village of the indigenous who still lives in their traditional environment. They live in Honai. They still kept the mummy of the warrior and the mummy is more than 350 years old. The females breast feed both their babies and their pigs. As with the man, according to the culture, if one member of the family died, the man has to cut a part of his fingers. Ownership of land is determined by the culture. Goverment land regulations are ignored.
Along the way I saw deserted brick houses. The brick houses were built by the government for the local people. However, the brick houses turn out not to be their home. So they built Honai at the back part of the house and live there peacefully. Another affirmation, being sensitive and appreciating the local culture need to be underlined or else Desa Kita will have a tendency to fail.
On the way back to Jayapura, I felt like I had been living in this place for ages. It's like being exposed to countless snap shots of Papua within fleeting moments. The total journey painted a mixture of black, white, blue, red, green, yellow and various colors of Papua in my mind. Papua, the land of abundance yet the people are living in a depriving condition. A well suited place for Desa Kita.



Labels: , , , , , , ,

Wednesday, June 13, 2007

GABPRES

Pentingnya informasi dalam sebuah desa pengetahuan adalah mutlak. Membuat informasi sebagai bagian dari kehidupan mereka adalah wajib. Kepada para remaja di desa mulai diperkenalkan rasa nyaman dalam bergaul dengan informasi. Kalau sebelumnya ada pustakawan , berikut ini wartawan. Ya...wartawan cilik!!!
Proses pembelajaran dilakukan secara bertahap, diawali dengan mengasah sensitivitas terhadap peristiwa di lingkungan yang dapat dijadikan berita serta persiapan dalam mengembangkan dan mengolah berita. Kebetulan pada saat bersamaan ada peresmian penggunaan bangunan-bangunan yang sudah siap. Dipilih 10 orang wartawan cilik yang diberikan kesempatan untuk melakukan wawancara secara real. Bayangkan saja, baru terjun sudah mendapatkan kesempatan untuk mewawancarai Bapak Bupati, Ibu-ibu Pimpinan. Untuk memacu keberanian, maka dibentuk kelompok yang akan mewawancarai dan menuliskan hasil wawancara tersebut. Proses wawancara yang berlangsung menarik perhatian masyarakat dan bahkan dijadikan berita dalam salah satu majalah yang sudah mapan di negeri ini. Dapat dibayangkan remaja SD dan SMP mewawancarai petinggi negara.
Kalau di awalnya mereka diberi kesempatan untuk mengasah sensitivitas dan uji nyali dalam berkiprah di dunia wartawan, maka program selanjutnya adalah mengajarkan cara menulis yang baik dan benar sesuai dengan kaidah-kaidah yang diatur dalam dunia wartawan. Sebagaimana dalam proses sebelumnya, mereka juga dibantu kakak-kakak yang sudah bergelut sebagai profesional di bidang kewartawanan, sebuah transfer pengetahuan secara langsung dari ahlinya (Nancy Dixon dalam Common Knowledge menjabarkan 5 jenis transfer pengetahuan dalam Knowledge Management, salah satunya adalah transfer dari ahli). Mereka dilatih untuk membuat berita dan proses ini mencatat berbagai kisah menarik dan lucu yang akan digambarkan dalam kesempatan lain.
Agar program ini tidak berhenti di tengah jalan, maka dibentuk pula kepengurusan yang melibatkan guru dan kepala desa serta dilakukan urun rembug mengenai nama media desa yang akan diterbitkan. Berbagai usulan bermunculan sebelum akhirnya disepakati untuk menetapkan Gabpres sebagai nama majalah remaja Desa Kita. Gabpres merupakan kependekan dari Gabungan Anak Berprestasi. Penerbitan perdana Gabpres akan dilakukan pada bulan Juli 2007. Selamat datang ke dunia informasi Anak Berprestasi.

Labels: , , ,

Tuesday, June 12, 2007

MENJADI LILIN

Ada banyak fenomena yang aneh yang bergulir terus di tengah masyarakat. Sebagian orang mati-matian ingin belajar sebagian lagi mati-matian ingin berhenti belajar. Terus belajar adalah salah satu prasyarat dalam membangun desa pengetahuan yang sustainable. Bagaimana caranya agar upaya untuk terus belajar dapat tumbuh dan berkembang di desa pengetahuan.
Salah satu program yang digulirkan di Desa Kita adalah membangun rumah pengetahuan atau perpustakaan. Sekarang bagaimana caranya untuk mengubah a house menjadi a home. Bagaimana menjadikan perpustakaan tempat yang nyaman untuk belajar, tanpa paksaan.
Salah satu prasyarat untuk membangun sebuah home adalah kepemilikan. Kepemilikan yang dimaksudkan disini bukan kepemilikan hukum, tapi keinginan untuk memelihara yang dilandaskan pada cinta kasih. Untuk sampai ke taraf tersebut maka anak-anak sekolah dan guru perlu dilibatkan dalam proses pembangunan perpustakaan. Ada banyak bentuk keterlibatan yang dapat dikembangkan dari mulai ikut mengusulkan buku, menjadi pengurus dan ikut memelihara dan terlibat dalam operasionalisasi perpustakaan.
Perpustakaan Desa Kita diberi nama Perpustakaan SD Mekar Jaya. Koleksi buku mencapai 4000 koleksi yang mencakup berbagai isu seperti buku pelajaran sekolah, referensi, koleksi agama, koleksi kuliner, koleksi pertanian dan lain sebagainya. Sebagian dari buku-buku tersebut merupakan usulan penduduk Desa Mekar Jaya yang dirangkum dalam beberapa pertemuan.
Dalam proses pembangunan fisik, penduduk desa Mekar Jaya dilibatkan sebagai bagian dari tenaga kerja pembangunan perpustakaan dan juga bangunan-bangunan lainnya. Dalam pembangunan isi dari perpustakaan, dikerahkan sejumlah murid yang tergabung dalam program pustakawan cilik. Kepada mereka diberikan juga kesempatan untuk mengenal cara klasifikasi buku, membuat kantong kartu, menyampul buku. Tujuan dari kegiatan-kegiatan tersebut agar mereka lebih mencintai buku-buku yang ada. Selanjutnya dibuat program majalah dinding yang pengelolaannya dilakukan pula oleh para murid dibawah bimbingan seorang guru. Dalam proses operasionalisasi perpustakaan, para pustakawan cilik terlibat secara bergilir untuk melaksanakan operasionalisasi perpustakaan. Sementara itu pengurus perpustakaan terdiri dari kepala sekolah dan beberapa orang guru. Keterlibatan diharapkan dapat menumbuhkan rasa cinta dan rasa cinta diharapkan mendorong timbulnya kepemilikan. Kepemilikan pada akhirnya akan mendorong sustainability keberadaan perpustakaan.
Problema terbesar lainnya selain kepemilikan adalah keuangan. Entah seberapa besar keinginan untuk berkembang tanpa ada dukungan finansial akan sulit dilaksanakan. Sejauh ini telah dirancang program sederhana untuk dukungan keuangan bagi perpustakaan yang bersumber dari pengelolaan perpustakaan itu sendiri. Tentunya jumlah tersebut masih terbatas. Untuk sementara pengembangan memang masih berada dalam bagian dari program. Ke depan, bila program perekonomian telah bergulir akan ada subsidi silang dari program tersebut untuk perpustakaan. Mudah-mudahan mereka tidak membacanya sebagai salah satu bentuk pajak tambahan. Rancangan keuangan memang akan mudah dilaksanakan di atas kertas, namun sulit dilaksanakan. Mudah-mudahan semua berjalan sesuai dengan rencana. Satu harapan kecil yang terselip di benak ini adalah kesediaan Pemda untuk membantu keuangan agar sustainability terjaga.
Sejauh ini perpustakaan telah berdiri selama 6 bulan dan telah dioperasionalisasikan, jumlah pengunjung masih dalam taraf yang relatif menengah. Dalam lomba kue yang dilaksanakan antara Ibu PKK, pemenangnya adalah orang yang belum pernah membuat kue, tapi hanya mengikuti resep yang tertera di salah satu buku kuliner yang tersedia di perpustakaan. Pak Kepala Desa juga dengan piawai berdebat soal tanaman jarak yang akan konon katanya akan ada investor dari kota. Pengetahuan tersebut diperoleh pak Kades dari buku tentang tanaman jarak yang tersedia di Perpustakaan. Majalan Dinding sudah terbit 2 x dan tampaknya masih membutuhkan dorongan untuk terus berkembang, baik dalam tampilan maupun dalam frekuensi penerbitan.
Ada banyak harapan yang timbul dari program di Desa Kita. Pemenuhan harapan hanya bisa tercipta bila ada koordinasi, dan bukan kecaman. Lebih baik menyalakan lilin daripada mencela kegelapan.

Labels: , , ,

Monday, June 11, 2007

DEALING WITH PEOPLE

Desa Kita adalah upaya yang terfokus pada manusia, oleh karena itu aspek kemanusiaan yang perlu dikedepankan, bukan hanya pembangunan-pembangunan fisik. Tidak ada yang akan menyangkal hal ini, namun demikian dalam prakteknya jarang ada yang mau berkutat di luar pembangunan fisik. Lebih mudah membangun fisik dan selesai. Selebihnya, siapa yang peduli!!
Pentingnya manusia dalam konsep Desa Kita diterjemahkan dalam segmentasi dari kelompok manusia (karena tidak mungkin menyentuh individu) di desa kita. Dengan niat menghargai kelembagaan yang sudah terbentuk selama ini maka pengelompokkan di Desa Kita dilakukan atas dasar kelembagaan yang sudah ada selama ini. Untuk kelompok anak sekolah tergabung di dalam OSIS, untuk kelompok lingkungan desa menjadi bagian dari Karang Taruna, untuk kelompok Ibu-Ibu termasuk dalam PKK, untuk kelompok pengusaha yang tegabung dalam Lembaga Keuangan Desa (LKM) dan untuk kelompok agama yang tergabung dalam pusat pengajian/gereja/vihara/pura, untuk kelompok pengurus desa, guru, digabungkan dalam kelompok pelayanan publik. Ada yang kurang-kurang sreg, jangan terlampau dipermasalahkan, nanti disesuaikan lebih lanjut di lapangan.
Pendekatan dengan menggunakan kelompok akan mempermudah upaya mengidentifikasi kebutuhan dari masing-masing kelompok untuk kepentingan kelompok dan bukan individu. Kebutuhan dari masing-masing kelompok perlu disinergikan agar dapat mengarah pada satu tujuan, yaitu menjadikan Desa Kita sebagai desa pengetahuan. Oleh karena itu perlu ditetapkan arah dari pengembangan manusia yang sejalan dengan konsepsi Desa Pengetahuan.
Dalam konsepsi desa pengetahuan ada beberapa kriteria manusia yang perlu dikembangkan, yaitu keinginan untuk terus belajar (tidak sebatas belajar formal), niat untuk berbagai, kreativitas, sensitivitas, rasionalitas yang perlu terjalin di dalam program-program yang akan dijalankan di Desa Kita. Muara akhir dari kriteria-kriteria tersebut diharapkan dapat mendorong timbulnya sustainability dalam berinovasi sebagaimana yang dibutuhkan oleh sebuah desa pengetahuan.
Semua segmen perlu dikembangkan ke arah kriteria-kriteria tersebut di atas, namun dengan alasan bekerja tidak perlu hard, tapi harus smart, maka fokus utama dari setiap kriteria di arahkan dengan usia perkembangan dari manusia. Kreativitas diarahkan pada pelajar kelas 1-4, sensitivitas pada pelajar kelas 5 sampai dengan SMP, Rasionalitas diarahkan mereka yang di SMA dan tergabung dalam Karang Taruna. Sharing dan learning akan menjadi bagian dari kelompok PKK, Jasa Pelayanan, kelompok LKM dan kelompok agama.
"When dealing with people, let us remember we are not dealing with creatures of logic. We are dealing with creatures of emotion, creatures bristling with prejudices and motivated by pride and vanity." (Dale Carnegie).

Labels: , , ,

Saturday, June 09, 2007

DESA PENGETAHUAN


Konsep desa pengetahuan mungkin bisa jadi beban tersendiri bagi pengembangan konsep Desa Kita. Berani benar merancang sebuah desa pengetahuan dalam konteks sebuah desa yang IPMnya rendah? IPM sendiri adalah suatu konsep yang ditelurkan oleh UNDP pada tahun 1990 yang terfokus pada pengembangan manusia dan bukan hanya ekonomi. Ada tiga komponen besar yang dikaitkan dengan IPM yaitu peluang hidup yang dihitung dari angka harapan hidup ketika lahir, pengetahuan (knowledge) diukur dari rata-rata lama sekolah dan angka melek huruf penduduk usia 15 tahun ke atas, serta hidup layak yang dihitung dari pengeluaran per kapita.
Yang ingin disoroti disini adalah istilah pengetahuan. Dilihat dari indikator yang digunakan maka istilah pengetahuan merujuk pada pengetahuan formal yang diperoleh dari dunia pendidikan formal. Sementara istilah pengetahuan yang dirujuk dalam desa pengetahuan adalah kemampuan, skill, intuisi apapun itu yang mereka miliki, realita yang ada dihadapan mata dan bukan apa yang diimpikan. Sulit rasanya bila kita ingin berangkat dari apa yang seharusnya ada. Lebih mudah bila mengawali semuanya dengan apa yang ada. Mustahil, di Desa Kita mereka sama sekali tidak memiliki pengetahuan.
Konsep desa pengetahuan tidak berbeda dengan trend yang berkembang biak pesat belakangan ini yaitu Knowledge Based Economy. Bagaimana menjadikan desa tersebut sebagai desa yang memanfaatkan pengetahuan unik yang mereka miliki untuk pengembangan perekonomian desa. Ujung-ujungnya akan diarahkan pada pengembangan perekonomian desa, namun tali temali yang terkait dengan konsep tersebut ada dimana-mana, seperti masalah kesehatan, masalah pendidikan dan masalah lingkungan.
Konsep pengetahuan dalam konteks ini mengacu pada pengetahuan yang bersemayam di benak manusia (pengetahun tacit) dan pengetahuan yang telah dikodifikasikan serta bertebaran di luar benak manusia (pengetahuan eksplisit). Yang mana yang lebih penting? Dont ever start creating any endless arguments...keduanya penting dan penggabungan dari keduanya akan menjadi sebuah kekuatan. Bentuk nyatanya seperti apa?
Pengetahuan apa yang dimiliki di desa dan dapat dijadikan competitive advantage bagi desa tersebut? Pengetahuan yang dapat dijadikan sumber penghasilan utama desa dan telah direalisir ke dalam produk tangible. Dari pengetahuan ini disusun standar kualitas dan proses, brand dan target market. Pengetahuan ini perlu dilindungi dalam bentuk hak cipta. Dalam implementasi selanjutnya Desa Pengetahuan akan melibatkan desa sekitar untuk menghasilkan produk tangible yang menggunakan pengetahuan mereka. Untuk itu desa sekitar diwajibkan membayar royalti bagi penggunaan pengetahuan tsb.
Untuk menjaga sustainability (goodness, I feel my life is so heavy with all these terminologies) dan nilai dari royalti tersebut, Desa Pengetahuan harus terus mengembangkan produk, brand dan pasar yang disebut sebagai inovasi. Di sinilah ke 3 aspek lainnya memainkan peranan penting, yaitu aspek edukasi, lingkungan dan kesehatan. Ke 3 aspek ini terutama difokuskan pada generasi muda yang bermukim di Desa Pengetahuan, mendorong mereka untuk berperan dan terlibat langsung dalam program Desa Pengetahuan. Caranya akan dicantumkan dalam tulisan berikut-berikutnya.
Phewww...kalau dipikir-pikir tidak mudah. Seharusnya yang beginian jangan hanya dipikir melulu, tapi perlu implementasi. Loosing a battle without entering the war!!!



Labels: , , , , , , ,

MALING AYAM

Ada kalanya kalangan internal maupun eksternal di lingkungan tempat saya bekerja mempertanyakan buat apa sih lembaga tempat saya bekerja melakukan upaya pengembangan desa? Pertanyaan ini pada umumnya ditautkan pada fakta bahwa lembaga tsb adalah lembaga non komersial yang tidak butuh “iklan” untuk memasarkan produknya. Sambil garuk-garuk hidung, saya bingung. Soalnya berbuat baik disamakan dengan iklan. Tapi menjawabnya tidak mudah karena tidak tahu harus mulai dari mana.

Salah satu kenyataan telak yang berkumandang di tengah masyarakat adalah rasa tidak percaya. Hal ini acapkali dilontarkan dalam ucapan maupun tindak perilaku. Terorisme politis telah berhasil mendudukkan rasa tidak percaya dalam koridor utama kehidupan masyarakat. Coba deh, menembus kompleks perumahan elite Pondok Indah. Portal demi portal akan menghadang dan memaksa kita mengambil langkah balik. Penghuni tidak percaya pada orang yang bukan penghuni yang mencoba untuk berlalu lalang di depan huniannya. Main hakim sendiri seperti memukuli maling ayam sampai mati adalah perwujudan lainnya dari rasa tidak percaya yang ditujukan pada aparat hukum.

Bisa dibayangkan bila tempat saya bekerja tidak dipercaya oleh masyarakat. Apa jadinya dengan kebijakan yang diterbitkan untuk menata salah satu sistem yang berlaku di masyarakat. Dijalankan sih iya...tapi seperti halnya kasus maling ayam, masyarakat akan berupaya keras untuk menggebukinya sampai mati karena tidak percaya. Dengan demikian pembangunan desa merupakan salah satu bentuk upaya untuk membangun rasa percaya masyarakat terhadap lembaga. Eittt...entar dulu..bukan membangun desanya, tapi niat baiknya untuk membuktikan saling ketergantungan antara lembaga dengan lingkungan yang perlu dibuktikan dalam bentuk saling berniat baik. Pembangunan desa kebetulan menjadi pilihan bentuk perwujudannya.

Labels: , , ,

Friday, June 08, 2007

NIAT BAIK KOK DIATUR?

Beberapa waktu yang lalu saya diundang oleh IPB untuk membicarakan konsep CSR. Sebenarnya males melabel konsep Desa Kita dalam bungkusan CSR, soalnya label tersebut sudah diabuse oleh nuansa politis. Namun berhubung pihak panitia sudah membungkusnya dalam kemasan CSR..what else could I do.

Singkat cerita, di dalam seminar tersebut, ada 3 pihak yang diundang. Lembaga tempat saya bernaung, suatu perusahaan pertambangan dan sebuah LSM yang bergerak di bidang CSR. Ada beberapa pemahaman yang terlontar disana dan fokus utamanya adalah bahwasanya CSR harus merupakan solusi bagi masyarakat dan sustainable against CSR sebagai kosmetik perusahaan dan political platform.

Untuk pengetahuan, boleh lah, ada pemahaman dan kesepakatan disana. Namun ada satu hal yang benar-benar membuat bulu kuduk saya berdiri. Peserta dari LSM memproklamasikan dirinya sebagai pihak yang mengawasi efektivitas dari implementasi CSR yang dilakukan oleh organisasi dan lembaga. Selanjutnya yang lebih membuat saya ternganga-nganga adalah rencana menjadikan CSR sebagai suatu kewajiban yang akan dijadikan bagian dari UU Perseroan Terbatas. Yang lebih mengejutkan lagi ada kabar burung yang mengatakan bahwa akan dibuat departemen khusus.

Ada beberapa keheranan yang terungkap dalam benak. Kalau CSR tersentralisir dan dananya difokuskan pada suatu departemen khusus....isnt it another kind of tax yang dibebankan pada perusahaan etc...anyway...terlalu pagi untuk sampai kesini karena undang-undangnya belum jelas.

Next, kenapa ya... niat baik orang harus ditata. Konsep CSR khan sebenarnya bermuara pada konsep interdependensi antara suatu institusi, organisasi dengan masyarakat di sekitarnya. Jadi harus timbul dari kesadaran institusi atau organisasi akan konsep interdependensi tersebut. Kalau dipaksakan...kapan mau sadarnya??? Pingsan terus deh...bangsa ini. Edan!!!

Labels: , ,